FILM BAYI GAIB: ANTARA GAIB, AIB, DAN AJAIB
G E B Y A R F I L M
I N D O N E S I A
BAYI GAIB:
ANTARA GAIB, AIB,
DAN AJAIB
Oleh Moch.Taufik
Hidayatullah
No. 05 / 18 Feb 2018 / Gebyar Film Indonesia
Setelah
Gasing Tengkorak (2017), MD Pictures
dan Dee Company kembali bersinergi lewat film baru berjudul Bayi Gaib: Bayi Tumbal Bayi Mati. Film
arahan sutradara kawakan Rizal Mantovani ini, konon disebut mereplikasi film Bayi Ajaib (1982) yang menjadi obrolan
hangat di zamannya lantaran horor mencekam yang memuaskan uji nyali penonton
pada layar-layar sinema nasional era itu. Berharap menduplikasi ulang kejayaan
film horor yang mengangkat benang merah seorang bayi yang lahir kala gerhana
itu, bayi gaib tampaknya benar-benar menggali rasa penasaran calon penonton
sewaktu melihat posternya yang berhasil meruapkan nuansa gaib lewat dominasi
hitam dan putih.
Berbagai
spekulasi berputar di tengah publik jauh sebelum film ini rilis. Orang-orang
menyangka film ini tidak diniatkan agresif dalam mempromosikan Bayi Gaib sebagai transformasi reboot—yang rutin dipamerkan sebelum
film Gasing Tengkorak—lewat teaser perdananya.
Perbincangan seputar Bayi Gaib sebetulnya
juga telah disinggung Joko Anwar dalam ‘5
Film Horor Terseram Versi Joko Anwar’ di kanal Youtube Beritagar ID. Suami
dari Upi ini mengaku bahwa salah satu film horor nasional paling mengerikan
sepanjang masa ialah Bayi Ajaib. Film
horor supernatural besutan sutradara Tindra Rengat ini yang kemudian dibesar-besarkan
sebagai produk siap remake untuk didaur-ulang menjadi cerita yang seratus
persen baru. Namun dugaan itu dipatahkan setelah Rizal Mantovani
mengklarifikasi.
“Karena
masa promosi belum mulai. Produser, Dheeraj Kalwani juga belum membuat
pernyataan resmi kala itu. Ini bukan remake
film Bayi Ajaib tahun 1980-an.
Cerita Bayi Gaib berbeda sekali
dengan Bayi Ajaib. Kalau tidak salah,
Bayi Ajaib bercerita tentang bayi
keturunan Portugis. Alur ceritanya linear sementara di Bayi Gaib ada twist-nya,”
jelas sang sutradara. (Tabloid Bintang.com, 21 Januari 2018)
Jelas
dipaparkan bahwa film ini tidak memiliki korelasi sama sekali dengan film horor
terkenal di masanya itu. Dengan mengandalkan judul Bayi Gaib, sebuah cerita baru disusun ulang dengan kisah yang lebih
kontekstual dengan modernisasi terkini.
Mengikuti
perkembangan film bentuk remake Bayi
Ajaib yang memasangkan Ashraf Sinclair dan Rianti Cartwright ini,
metamorfosis judul pun menjadi bagian yang unik untuk dikupas. Mengawali
perkenalan judul Bayi Ajaib, perubahan
berlangsung hingga tiga kali hingga sampai pada judul tetap yang tengah beredar
saat ini: Bayi Ajaib, Bayi Tumbal, dan
Bayi Gaib: Bayi Tumbal Bayi Mati. Sontak
ini menjadi pertanyaan berkenaan seringnya berubah materi promosi dalam teaser
poster yang menonjolkan kereta bayi diselubungi borkat hitam itu. Namun rasanya
pengakuan produser dan sutradara film ini sudah cukup kuat untuk menjawab
kesamaran maksud dari pergantian judul-judul itu.
Film
Bayi Gaib rasanya dibuat dalam
meramaikan kemesraan penonton Indonesia terhadap film-film horor yang menjelang
penghujung tahun 2017 menjadi primadona. Seandainya penulis boleh beropini,
penayangan Bayi Gaib hanya terjeda
oleh tanggal saja sehingga atmosfer demam film horor Indonesia mengalami jeda
beberapa bulan. Namun visi yang diusung masih seirama dengan berbagai judul horor
Indonesia lain yang berkeliaran di tahun 2017, sebelum ditutup Mata Batin (2017) dari Soraya Intercine Films.
Benang
merah film Bayi Gaib menawarkan twist yang cukup memainkan pikiran
penonton untuk menebak-nebak alur yang terasa sengaja disembunyikan dan
ditujukan mengimbau penonton memecahkan sendiri teka-tekinya. Sejak awal cerita
bergulir, penonton dihadapkan beberapa tokoh yang membawa porsi twist masing-masing seperti Edi (Mario
Lawalata), Ronald (Fadika Royandi), bahkan kejutan yang datang dari masa silam
dalam hidup Farah (Rianti Cartwright) sendiri. Bila menyimak grafik dinamika
cerita, penonton ditantang pada beberapa opsi: cerita ini begitu ‘vulgar’
mengekspos dalang jahatnya atau cerita yang dihadirkan sebagai manipulasi alias
mengelabui tebakan penonton.
Di
sinilah keasyikan menyaksikan Bayi Gaib, walau
tetap mengandalkan bobot cerita yang berpusar pada garis besar dunia kelam ilmu
hitam, penonton akan diajak berkeliling lebih dahulu pada banyak pengalaman
pasutri yang dikisahkan menghuni kediaman baru ini. Idiom-idiom yang
dipergunakan dalam dialog tokoh tampaknya berupaya menjauh dari kosa kata
kebanyakan yang digunakan dalam dunia perdukunan. Penulis menangkap
ketidakbiasaan sebutan ritual sesat
sebagai sekadar sebutan ilmu pesugihan. Sejujurnya bukan masalah berarti untuk
sebuah pemilihan narasi dalam menerjemahkan sebuah dramatisasi film horor.
Konteks
bayi terasa kental dengan berbagai atributnya seperti troller, menyusui, kamar tidur, kelambu, bedongan dan sebagainya yang dibalut
dalam nuansa menyeramkan. Film ini seakan mengimbau masyarakat bahwa mempunyai
bayi tak hanya sekadar kebahagiaan meluap-luap namun juga butuh pengawalan
esktra dan titik-bengek yang sedikit merepotkan. Kebiasaan takhayul yang
menjiwai banyak pola pikir orang-orang tua akan meracuni asumsi masyarakat
dewasa terkini yang kebanyakan menepikan berbagai ritual, tradisi dan bahkan
menjauhi keyakinannya. Dan sekali lagi, film ini tak hanya melambangkan tanda
kecukupan atau syukur melainkan kewaspadaan untuk melipatgandakan jaminan
proteksi sang buah hati.
Selama
mengikuti film ini, penulis tersentak oleh sejumlah kebetulan yang entah benar
ataupun tidak. Semata-mata ini pandangan penulis yang betul-betul menikmati
film horor ini. Pemilihan Rianti Cartwright untuk berperan dalam film horor
perdananya ini, tak lepas dari intimate Rianti
dengan MD Pictures. Pernah mendengar ocehan protes publik terkait kontra
penempatan Dewi Sandra sebagai cast pemeran
Aisha yang baru di Ayat-ayat Cinta 2 (2017)
akhir tahun lalu? Atau barangkali Anda bagian dari barisan penolak Dewi Sandra
yang didaulat memerankan Aisha? Ketimbang betul-betul terpisah jauh dari nuansa
kerjasama sang artis dan MD Corp, Rianti ditempatkan di film ini. Walaupun
dalam kesempatan Premiere Bayi Gaib, Rizal
Mantovani menjelaskan bahwa Rianti memang sosok yang murni dipilih Dheeraj
Kalwani sebagai produser film mengingat keberadaannya sangat cocok untuk cerita
ini. Entahlah, hanya Rianti, produser,
dan Tuhan yang tahu mengapa.
Menonton
Bayi Gaib juga seolah menepuk-nepuk untuk
menyadarkan penulis terhadap beberapa hal. Teknis dalam film Bayi Gaib meliputi artistik dan lanskap setting film ini sangat akrab dalam
benak penulis usai memiliki pengalaman film-film nasional terdahulu. Pada scene
Rafa dan Farah di sebuah pesta, suatu sisi tertangkap basah sebuah sangkar
buruk indah yang pernah dijumpai di Tenggelamnya
Kapal Van Der Wick (2013) namun dengan warna yang baru yakni perak. Lalu
penggunaan rumah baru yang pastinya pernah dipakai sang sutradara untuk film Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh
(2014) dalam konteks rumah Rana (Raline Shah) dan Arwin (Fedi Nuril).
Terlebih dalam waktu berdekatan, rumah yang sama dipergunakan untuk pengambilan
gambar film Danur 2: Maddah (2018),
bulan depan akan tayang. Dan lebih greget,
penggambaran rumah di trailer film adaptasi buku Maddah karya Risa Saraswati itu
ikut diputar persis sebelum film Bayi
Gaib tayang. Tetapi keindahan estetika yang tergambar dalam film horor ini
juga menimbulkan kesan tersendiri meskipun penonton akan sedikit pegal
dicekokin shot rumah mewah
berulang-ulang dalam rentang waktu singkat sebagai transisi.
Kembali
lagi pada kedalaman cerita Bayi Gaib, pola
untuk mengecoh ataupun membuat relaksasi pemikiran penonton lewat cerita yang
meliak-liuk menjadi kekekalan utama setelah produksi Gasing Tengkorak. Sekilas cerita Bayi Gaib bukan produk cerita yang asing dalam pengalaman menonton
film horor Indonesia. Namun permainan liukan cerita Bayi Gaib menjadi daya tarik yang memantik apresiasi merangkap
kritik. Film ini menggambarkan pola ribut-ribut
rumah tangga antara pasutri yang didera baby
blues maupun imajinasi kosong dalam menghadapi ketakutan. Melengkapi itu,
hal yang menjad keunggulan film ini ialah pemilihan subyek makhluk astral yang
terbilang jarang diaplikasikan dalam film horor nasional yakni hantu bayi. Di
tengah tingginya jam terbang kuntilanak ataupun pocong cameo yang hilir-mudik dalam film-film Indonesia, penempatan bayi
menjadi pembeda yang memberikan warna dan pendekatan berbeda untuk film horor
Tanah Air.
Menutup
narasi apresiasi film Bayi Gaib: Bayi
Tumbal Bayi Mati ini, penulis mantap melantangkan pandangan bahwa film ini menentang
stereotipe bahwa kedekatan penggunaan ilmu hitam hanya berlaku bagi masyarakat
Indonesia pinggiran. Era secanggih ini menciptakan revolusi yang tak kalah
ajaib, teknologi berkompromi dengan ilmu gaib mampu menimbulkan tantangan baru
yang berpotensi meletusnya problematika sosial yang berjuta kali lipat peliknya.
Kalangan intelektual dan pengusaha dengan karier selangit juga tak menutup
kemungkinan akan bersentuhan dengan kebengisan taktik ilmu hitam. Hati-hati,
antara gaib dan aib serasa dekat dan tak bersekat maknanya. Film Bayi Gaib mewakili aspirasi para penjaga
aib sebelum perkara gaib ambil andil. (GN ©MTH)





Komentar
Posting Komentar