CERPEN 1 : Menjemput Cinta-Nya di Ujung Shalat
Lelaki paruh baya itu berjalan renta
dari balik pintu tua rumahnya yang nyaris lepas dari engselnya. Di tangan
kanannya merangkul baskom kecil berwarna jingga gelap dengan butiran-butiran
padi kuning bekas yang menggunung di dalamnya. Langkahnya yang pelan mendekati
hijab pengepung belasan ayam jagonya yang sangat ia sayangi. Pagar yang
mengelilingi ayam-ayam itu telah mulai lapuk. Paku-paku yang setengah tenggelam
di balik rongga-rongga yang merekah itu pun mulai berkarat dimakan waktu. Sama
seperti usianya yang kian senja dan redup.
”Hidupku sekarang sebatang kara. Ayam-ayam
inilah teman dan keluarga bagiku.” batinnya dalam pilu. Mengenang kembali
masa-masa bahagianya selama istri dan kedua anaknya masih hidup bersamaan
dengannya di alam yang sama. Mereka semua meninggalkannya enam belas tahun yang
lalu. Allah menjemputnya dengan racun yang menyelusup ke dalam organ pencernaan
mereka. Istri dan kedua anaknya meninggal akibat keracunan setelah makan siang
ketika bersilaturrahmi ke salah satu rumah tetangga yang tak jauh di rumahnya. Setiba
di rumah, tepat di hari ketiga Idul Fitri, istri dan kedua anaknya
muntah-muntah. Buih-buih putih bertumpahan. Dengan ligat ia segera membawa
orang-orang yang sangat dicintanya itu ke puskesmas terdekat. Sayang kereta
kencana Izrail menghadang di tengah perjalanan. Menjemput ketiga makhluk Tuhan
itu pulang ke sisi-Nya
Kelopak mata yang mulai menghitam
itu menitikkan sebutir air mata. Kini ia tak memiliki siapa-siapa di
sampingnya. Hanya ada Allah yang senantiasa bersemayam di dalam bilik hatinya. Ia
menebar segenggam biji padi yang kuning kecokelatan itu ke seluruh sudut
kerengkeng ayam-ayamnya. Sahutan kokokan ayam mengalun menyuarakan bahagia di
pagi yang cerah itu.
Pak Khidir, itulah panggilan
masyarakat kepada dirinya. Sosoknya yang bongkok dan berisi itu sangat disegani
oleh orang-orang yang hidup berdampingan dengannya. Para tetangga sangat hormat
dengannya. Bukan lantaran keahlian atau pun materi yang ia miliki. Melainkan
istoqamahnya terhadap ibadah fardhu dan sunnah yang senantiasa ia jalani. Dan
juga lelaki paruh baya berkepala tujuh ini adalah seorang muadzin di masjid sederhana
tak jauh dari rumahnya. Keriput-keriput yang meliak-liuk menjalar di wajahnya
itu setiap harinya tersapu kesejukan air wudhu. Kulit dahinya yang mulai kusut
itu selalu menjamah sajadah. Di tengah kesepian dan kemiskinan yang
membelenggu. Pak Khidir senantiasa mengembang senyum melewati hari-harinya. Tak
ada saudara yang tinggal di dekatnya. Seluruh saudaranya jauh menetap dan tak
pernah membesuknya walau sekali. Namanya bak terkubur nyanyian waktu.
”Makan! Makan ini semua. Biar
gemuk-gemuk semuanya.” serunya nanar melempar sisa-sisa biji padi yang
terkumpul di dalam baskom. Pak Khidir mematung menyaksikan dendangan ayam-ayam
ternaknya berdendang menggemakan suasana pagi. ”Allah itu Maha Adil. Keluargaku
telah diambil-Nya semua. Namun ayam-ayamku masih hidup dua puluh tahun lamanya.
Menemani hari-hariku yang buram ini.”
Lelaki bersarung lusuh itu berjongkok.
Menumpu dagunya dengan tangan kiri. Baskom jingga itu ia letakkan di tanah. ”Usiaku
sudah tujuh puluh lebih. Tanggal 23 besok aku genap berusia 78 tahun. Apakah
Engkau masih membiarkan aku bernafas, Ya Allah? Masih lamakah waktu berselang
hingga Engkau menghijabahi impian hamba, Ya Allah?” lirihnya spontan seraya
menengadah mengepal cakrawala.
Di ujung gerbang rumahnya datang
menyahut sebuah bayangan seorang lelaki berkemeja hitam. Wajahnya hangat memancarkan
kecerahan sinar mentari. Bibirnya menganyam senyuman. Ia tatap lelaki tua yang
sangat menyayangi ayam-ayamnya itu, sama halnya seperti ia menyayangi keluarga
kecilnya dulu sebelum berpisah. Kini lelaki itu telah ia anggap sebagai Ayah
kandung. Ia sangat menghormatinya. Bahkan hampir setiap hari ia pasti menjenguk
Pak Khidiri dengan menggenggam buah tangan yang sanggup menerbitkan senyuman
lelaki tua itu dan membenamkan kesepiannya.
”Assalammualaikum,”
ucap seorang lelaki berkemeja hitam mendekatinya.
”Waalaikum
salam. Pak Yusuf.” sahutnya sembari
tegak meluruskan badannya.
”Bagaimana kabarnya, Pak?” lelaki
berkemeja itu mengulur tangan. Dan Pak Khidir menjawab jabat tangan itu dengan
ramah. Dengan santun Yusuf, lelaki berkemeja hitam tersebut mencium penuh
takzim punggung tangan Pak Khidir yang sudah keriput. ”Alhamdulillah saya
baik. Ayo duduk!” sila Pak Khidir mengarahkan tamunya ke beranda kecil dengan
sebuah piring yang mengatapi bohlam lampu yang tergantung di langit-langit.
Lelaki berkemeja rapi itu mengangguk dan beranjak menuju beranda. Ia duduk di
atas sebuah busa yang setengah robek, yang mengalasi kursi rotan tua milik Pak
Khidir.
”Ada suatu hal yang mau saya
bicarakan sama Pak Khidir.”
”Ada apa Pak Yusuf?”
Lelaki tersebut mengumpul nafas.
”Jangan panggil saya Bapak. Panggil saja saya Yusuf,
Pak.”
Pak Khidir mengangguk beberapa kali.
Pak Khidir diam mendengarkan.
”Di masjid kita baru saja selesai
pembangunan sebuah rumah untuk gudang masjid. Namun atas berbagai pertimbangan,
rumah itu kami sepakat batal digunakan menjadi gudang. Dan rencananya akan
dipergunakan sebagai rumah khusus untuk Imam masjid yang biasa mengimami shalat
berjamaah. Rencananya di rumah itu akan dibuat dua kamar yang bisa menampung
dua Imam tersebut.” papar lelaki berkemeja itu yang tak lain merupakan seorang
Ketua RT di daerah tersebut. ”Jadi rencananya saya akan memindahkan Pak Khidir
untuk menempati rumah tersebut. Karena di sana lebih nyaman dan lebih memadai.
Bersediakah Bapak tinggal di sana?”
Pak Khidir mencerna kata-kata Yusuf
dengan cermat. Ia menunduk mengamati kuku-kuku jari kakinya yang baru saja ia
potong tadi selepas subuh. ”Siapakah seseorang lagi yang akan menempati rumah
itu, Pak?”
”Insya Allah, Pak Mahmud. Dia bersedia
untuk tinggal di sana. Menimbang rumahnya itu masih dalam
ikatan kontrak. Ia belum memiliki rumah tetap.”
”Lantas atas pertimbangan apa Bapak
meminta saya pindah ke rumah tersebut?”
”Sebelumnya saya minta maaf jika ada
perkataan saya yang kurang berkenan, Pak.” Pak RT menelan ludah menerobos
kerongkongannya yang kering. ”Kami menilai rumah ini sudah cukup tua. Bahkan
atapnya mulai lepas. Dan tidak memenuhi kriteria sebagai tempat tinggal, Pak.
Atas dorongan masyarakat, saya mewakili semua untuk menawarkan rumah tersebut
untuk Bapak tempati. Kendati tidak ada seorang pun yang menemani Bapak.”
Pak Khidir menghirup nafas
dalam-dalam. Kumisnya yang hitam bergerak-gerak. ”Saya merawat, membersihkan,
menjadi imam dan muadzin di masjid As-Sajadah itu ikhlas lillahi ta’ala, Pak.”
”Saya mengerti, Pak. Tetapi bukan
itu maksud tawaran saya.”
”Saya paham, Pak. Memang rumah yang
melindungi saya ini sudah tua sama seperti diri saya sendiri. Sudah tidak layak
untuk ditinggali. Tapi maaf, Pak. Saya masih ingin tinggal di sini. Saya ingin
menghabiskan hidup saya di rumah ini, Pak.”
Pak Yusuf terdiam. Matanya mencorong
tajam menapaki keseriusan yang tersirat dari bola mata Pak Khidir yang
kecokelatan. ”Apa yang Bapak harapkan dari rumah ini?”
”Rumah ini adalah rumah yang
menyimpan banyak sejarah keluarga saya.”
”Tapi
di sini tidak ada yang menemani Bapak.”
“Ayam-ayam saya lebih dari sekedar
yang menemani hidup saya.” jawab Pak Khidir. “Namun ada yang jauh lebih dekat
ketimbang ayam-ayam itu. Dan sangat dekat. Bahkan lebih dekat dari jiwa dan
raga saya ini, Pak. Dia ada di dalam hati saya, Allah!” ujar Pak Khidir serak.
“Boleh saya tahu impian terbesar
Bapak di dunia ini? Mungkin saya bisa menjawabnya. Saya sempat bernadzar, bahwa
sebelum saya menjadi RT di sini. Saya pernah bernadzar agar saya dapat
membahagiakan Bapak walau sekali saja.” ucapnya penuh keseriusan. ”Apa harapan
dan mimpi Bapak? Kalau Bapak menginginkan sesuatu akan saya belikan. Dan kalau
Bapak meminta saya sesuatu akan saya kerjakan. Apa impian Bapak?”
”Setiap harinya saya hanya berdoa
kepada Allah agar Ia dapat segera menjawab keinginan saya. Tapi Ia belum
menjawabnya.”
”Iya tetapi apa itu, Pak? Barangkali
bisa saya lakukan.”
”Impian saya ini tak dapat
dihijabahi barangsekali oleh makhluk terkuat di Alam Raya ini, Pak. Hanya
Dialah yang bisa melakukannya.”
”Boleh saya tahu, Pak?”
”Saya ingin meninggalkan dunia ini
dengan Khusnul Khatimah, Pak.”
Bulu roma Pak Yusuf berdiri kaku bak
disengat listrik jutaan volt. Ia merinding. Bulu kuduknya berayun-ayun dingin.
Ia terpaku mendengar kalimat yang baru keluar dari bibir kering yang sedikit
terkelupas itu. Pak Yusuf tak mampu membendung air matanya. Tanpa segan cairan
bening itu melompat dari sudut matanya. Ia minta diri. Dan segera melangkah
pamit meninggalkan beranda. Tetapi Pak Khidir segera mencekatnya dengan sebuah
kalimat hingga menarik kakinya untuk berhenti melangkah.
”Tawaran Bapak sudah lebih
membahagiakan saya ketimbang Bapak melakukan suatu hal untuk mengamini impian
saya.” Pak Khidir berdiri dengan kaki yang gemetar. Lelaki berkemeja hitam itu
hanya mengangguk tanpa memutar badannya menatap Pak Khidir. Ia segera membuka langkahnya lebar-lebar pergi meninggalkan pekarangan
rumah Pak Khidir.
>><<
Embun putih mengepung perkampungan
di sudut Kota itu dengan mesra. Ayunan awan melayang-layang menaungi langkah
Pak RT yang diselimuti tanda tanya. ”Kenapa Pak Khidir tidak mengimami shalat
berjamaah subuh ini?” tanyanya dalam hati. Ia segera melangkah lebar menuju
rumah tua berdinding papan milik Pak Khidir.
Ia
mengetuk pintu tiga kali. Melempar salam. Ia
mengintip di balik tirai jendela yang terbuka sedikit dari terali kayu jendela.
Pak Yusuf kembali mengetuk. Tak ada jawaban. Dengan mengumpulkan keberanian ia menekan
gagang pintu kayu tua itu. Tak dikunci, dengan pelan ia menyusup masuk
memperhatikan seisi rumah. Ia terus mengucap salam dan memanggil-manggil Pak
Khidir. Ia terus berjalan hingga sampai di pintu menuju ruang keluarga yang
bersebelahan dengan meja makan. Tampaklah sosok Pak Khidir yang tengah bersujud
di atas sajadahnya. Peci hitam yang tersongkok di kepalanya sedikit terlepas.
Namun Pak Yusuf tak mengacuhkan. Ia segera duduk bersila menunggu lelaki tua
itu menuntaskan shalatnya. Ia duduk di atas sebuah tikar yang sudah bolong di
seluruh permukaannya. Karena di ruangan itu tak ada kursi atau
pun sofa. Ia duduk bersila mengamati Pak Khidir. Sebuah Al-Quran terkembang di
sisi kanan atas sajadahnya di atas lehar. Pak Yusuf hanya acuh menanti Pak
Khidir. Nada-nada rayuan terdendang menggemakan gendang telinganya untuk
memejamkan mata. Hingga kantuk berhasil menguasai dirinya. Kepalanya tergantung
dengan leher sayu yang lentur.
Pagi menyapa. Ayam-ayam Pak Khidir
riuh menjerit. Menanti makan yang biasa mereka dapatkan di kala pagi muncul di
balik perbukitan tinggi itu. Benda langit yang biasa bersemedi di kala malam
telah jauh berlari ketika tahu sang surya membuka mata. Pak Yusuf tersadar dari
tidurnya ketika kokokan ayam semakin kuat memekik. Ia tersadar. Menatap badan
Pak Khidir yang masih mematung dalam keadaan sujud. Pak Yusuf panik. Jantungnya
berpacu cepat ketika mendekati raga Pak Khidir. Ia menyentuh bahu kanan lelaki
bongkok tua itu. Tak ada reaksi. Ia berkata lebih kencang, hingga di dorongan
ketiganya Pak Khidir jatuh tersungkur ke arah kiri. Bola mata lelaki itu
terbelalak menatap fenomena yang terbentang di hadapannya. Nyata! Ia memeriksa
jantung dan denyut nadi Pak Khidir. Tangis meledak di dalam rumah itu. Pak
Yusuf memeluk erat badan Pak Khidir yang telah menjadi mayat itu. Bibir Pak
Khidir telah memutih dan sekujur badannya telah dingin. Pak Yusuf terus terisak
di jasad tak bernyawa itu. Tokoh yang telah lama ia anggap sebagai Ayah
kandungnya itu pun akhirnya terbang meninggalkan jasadnya dalam keadaan Khusnul
Khatimah.
Akhirnya Allah menjemputnya dengan
senyuman di dasar jiwa. Pak Khidir pergi dalam doanya yang terjawab. Ia
terlepas dari tanggapan dunia yang maha berat ini dalam perjalanan Shalatnya. Seorang
khalifah bumi yang menjemput cinta-Nya di ujung shalat. Di atas sajadah tuanya.
Ia melepas nafas terakhirnya. ”Terima kasih, Ya Allah. Engkau telah menjawab
doa hamba-Mu yang soleh ini.” rintih Pak Yusuf seraya terus mengucurkan air
mata.
>><<
Terkadang di
kala dirimu meringkuk di bawah roda kehidupan. Percayalah bahwa ujian yang kau
terima adalah bukti cinta Tuhanmu kepadamu. Dan kelak, setelah kau berhasil
menyelesaikan ujianmu, Tuhan telah menyiapkan kado terindah di ujung ikhtiarmu.
~ AFIK ~




Komentar
Posting Komentar