CERPEN 2 : Ahli Waris Ibu Pertiwi
Tangan
lelaki itu terkembang di udara, menciptakan jarak sejauh mungkin di antara
kedua tangan yang jauh berseberangan. Menatap sebuah peta raksasa yang mampu
menutup tembok berkapur markas pribadinya itu. Sebuah ruangan sempit yang
jarang terjamah cahaya namun cukup sebagai tempatnya untuk merenungkan diri. Dalam
ruangan itu hanya peta seukuran luas taplak meja makan inilah yang menjadi
dekor terbaik selain lapis sarang laba-laba dan tumpukan debu yang menempati
ruangan kosong ini.
Kusno nama lelaki yang duduk nyaman
di atas ubin dingin tak beralas tikar itu. Bertahan dalam renggangan kedua
tangan yang seolah-olah berusaha menjangkau kawasan Nusantara dari ujung Sabang
hingga Merauke pada gambar di dinding itu. Tangannya masih terkembang. Membayangkan
Nusantara berada dalam satu kekuasaan yang ditaklukkan oleh seorang ksatria
hebat yang mampu menjaga segala kekayaan yang tersimpan di dalamnya. Ksatria Piningit? Secepat kilat realita
membanting segala kepercayaan yang dipandangnya lewat sudut pandang budaya
ramalan Jayabaya itu. Dalang khayalan yang tengah mementaskan kehidupan tokoh
wayang dalam benaknya langsung angkat kaki tinggalkan pentas. “Negeri ini tidak butuh ramalan tetapi negeri ini
membutuhkan kepastian. Membutuhkan ahli waris yang tepat dalam meneruskan
pusaka keramat yang tiada banding nilainya” lirih Kusno dengan suara tuanya.
Tak
lama tampaklah dua bola mata Kusno berkaca-kaca. Entah apa sebabnya setiap kali
ia memandang lekat-lekat peta itu maka segenap cerita khazanah Negeri ini
mencuat dan bersorak mengelilinginya. Bersorak miris penuh nada pilu. Memandang
peta itu bak ritual rutin yang kerap dilakukannya setiap hari, tepatnya kala
matahari mulai mencium bumi. Di saat mega jingga keemasan mulai pudar digusur
malam dan raungan anjing-anjing liar di perkampungan itu mulai menyalak
menjelang maghrib. Kusno ambruk ke depan menahan tangis yang hendak meledak. “Duhai
Ibu Pertiwi. Siapakah lagi yang rela menjaga kewibawaanmu?” gumam Kusno dengan
lafal tak begitu jelas. “Negeri ini kehilangan keluarga besarnya. Ahli warismu
sudah banyak berpaling tinggalkan Dikau dan begitu tega menelantarkanmu.
Padahal sejatinya Kaulah yang akan mewariskan segala kekayaan ini tanpa sederet
syarat. Oh, Tuhan... Rekatkanlah kembali kasih sayang di antara keluarga besar
ini.”
Kusno
sadar ketika cermin pantulkan rupanya yang tak luput dari cela. Raga renta yang
tak lagi setegar dulu namun jiwa kokoh yang tak pernah lekang disaput waktu. Ia
sadar siapa dirinya. Tak lebih
baginya mengabdikan diri pada Negeri ini sekedar di ujung kuku. Tangannya belum
benar-benar kotor dalam menjaga kekayaan negeri yang tengah mencari ahli waris
yang setia. Yang sanggup menjaga segala harta warisan tanpa perlu sumpah terima
jabatan. Yang tanpa pamrih menyambung estafet sebagai garis keturunan anak negeri
dalam menjaga kekayaan Nusantara yang maha kaya. Para ahli waris yang berjiwa
nasionalis dengan rasa penuh tanggung jawab tanpa perlu disumpah di bawah kitab
suci ketika segala tanggungan dipikulnya sepanjang hayat.
Cucunya
datang mengantar minum di ambang pintu. Mengamati Kakeknya yang setiap sore
senantiasa bertapa dalam ruangan sederhana ini. Seorang diri duduk bersila
tanpa teman dalam kesepian yang selalu diwarnai desing nyamuk yang hilir-mudik.
”Kek,
minum dulu. Hari ini aku
buatkan jahe hangat seperti pesanan Kakek semalam. Diminum ya, Kek,” ujar
cucunya perlahan mengangsur baki cangkir jahe hangat itu ke sisi Kakeknya.
Kusno pun menoleh ke samping mengamati cangkir yang mengepulkan asap tipis di
udara. ”Makasih ya, Cu.” ucap Kakek singkat sembari memurnikan suara yang
semula serak basah karena menangis. Rosna nama cucunya yang anggun itu, duduk
menunggu Kakeknya mencicipi jahe hangat buatannya. Selama kerongkongan kering
Kakek bergemuruh air yang mengalir menuju lambung, hati Rosna turut bergemuruh
resah hendak ungkapkan suatu kegelisahan yang selama ini disimpannya
rapat-rapat dari Kakeknya. Dan sore itu menjadi saksi Rosna mengungkapkan
segala keresahan yang dirasakannya selama ini terhadap tingkah sang Kakek
sepanjang tahun di kala senja dalam ruangan ini.
”Ada
yang mengganjal benak Rosna selama ini, Kek. Apa sebenarnya yang Kakek
tangiskan setiap hari di sini? Aku melihat sepertinya Kakek menanggung beban
berat yang Kakek sendiri sulit menyelesaikan beban tersebut. Rosna lihat beban itu
menjadikan Kakek tersiksa berhari-hari.” Ketika lisan Rosna terputus di ujung
kalimat, Kakek pun terkesiap. Ia bagai disengat listrik dari kabel tak berkulit
yang berayun dari atas atap. Ia pandang cucunya dengan mata kembali basah.
”Pernahkah Engkau berfikir cucuku bila Kakek meninggal kelak maka hanya Kau
seorang yang menjadi pewaris dari segala harta Kakek?” tanya Kakek menyengat
balik Rosna. Rosna merinding dan dapat merasakan bulu roma di sekujur tubuhnya
tegak berdiri. Dengan terbata Rosna berusaha menjawab, ”tak pernah kufikirkan
Kakek akan cepat meninggalkan Rosna sebatang kara di sini. Harta warisan itu
tiada artinya ketimbang keberadaan Kakek yang bisa menjadi tumpuan kasih sayang
Rosna ketika Rosna jadi yatim piatu semenjak kecil.”
”Tapi
bagaimanapun semua yang hidup pasti akan mati, Cucuku. Orang yang sudah sepuh
seperti Kakek memang sudah waktunya untuk memikirkan perkara yang satu ini. Memantapkan
diri dalam mewariskan segala kepemilikannya kepada penerusnya. Dan itu tidak
mudah. Warisan itu akan bergulir terus dari generasi ke generasi. Kakek takut
ahli waris keturunan berikutnya tak
amanah dalam menjaga warisan dari leluhurnya itu. Filosofi itulah yang Kakek
takutkan selama ini melihat kekayaan Indonesia ini akan dapati kesedihan amat
besar ketika ahli waris amanahnya nyaris punah seluruhnya.”
”Kekayaan
apa yang paling Kakek takutkan tak menemui pewarisnya yang amanah?”
”Negeri ini negeri yang berbudaya. Hidup
berjalan didasari budaya dan segala bidang pendukungnya. Indonesia adalah
negeri yang dikaruniai Tuhan dengan budayanya yang jamak. Kamu fikirkan cucuku
apakah kamu rela melihat budaya Negeri yang sangat kaya raya ini hanya
dipandang sebagai barang murah? Padahal negara lain berusaha mencuri-curi
warisan Negeri ini. Khazanah budaya yang berbhineka tunggal ika. Itu yang
selama ini Kakek fikirkan di sini. Sedih hati Kakek melihat anak-anak sebayamu
dan generasi muda yang sudah tak lagi peduli menjaga budaya Negeri ini. Apa
jadinya kalau memang Ibu pertiwi itu benar-benar ada. Pasti sedari dulu dia
telah mengeluh melihat kelakuan bangsa ini yang justru mengagungkan
budaya-budaya luar ketimbang budaya nenek moyangnya sendiri.”
Rosna
tenggelam dalam tundukan sekaligus berang mendengar paparan sang Kakek. Bukan
lantaran tersinggung lewat posisi generasi bangsa termasuk dirinya tersudut
dalam narasi sang Kakek. Tetapi karena suatu hal yang membuatnya benar-benar kesal
atas tingkah Kakek selama ini. ”Aku mengerti cinta Kakek akan Negeri ini sangat
besar. Tapi jangan jadikan masalah ini menjadi fikiran dan beban buat Kakek.
Tolonglah, Kek. Kesehatan Kakek membutuhkan banyak istirahat. Bukan beban yang
harus Kakek fikirkan berlarut-larut begini. Kakek itu hanya butuh ketenangan,
bukan berlama-lama dengan air mata di ruangan ini,” Rosna terpancing emosi ketika
tahu persoalan yang selama ini tergantung di kelopak mata Kakeknya yang
berkantung itu. Rosna meninggalkan ruangan. Di dadanya berkecamuk ketakutan
akan kekhawatiran kondisi fisik Kakek yang mulai lemah. Sementara Kakek justru
memikirkan perkara yang hanya sanggup membuat keriput kulitnya kian mengganda.
Seketika
Kusno terjerembab dalam gelap, mendarat di atas permukaan yang keras. Ia
langsung tegak dalam keterbatasan rabun senja yang menyusahkan. Tanpa diundang
hadir seorang bersahaja membelakangi cahaya benderang yang tampak bagai siluet.
Semakin dekat kian terlihat wajah wanita anggun bermahkota melati dengan
eksotisme wanita Indonesia. Kusno tak tahan berdiri dalam suasana yang pengap
ini, ia pun terduduk. ”Wahai Kusno. Akulah Ibu Pertiwi yang selama ini kau
risaukan. Siapa ahli warisku selanjutnya? Ketika pewarisku justru tak lagi
sempurna tanggung jawabnya dalam menjaga segala budayaku. Itulah tantangan
besar bangsa ini sekarang. Siapa yang berani menjinakkan segala krisis
nasionalisme dalam menghargai nilai-nilai budaya yang sudah banyak dijamuri
topeng-topeng budaya luar yang tak jarang mengiring para ahli warisku ke arah
penyimpangan yang jauh bertolak dari kesantunan budaya Timur? Tapi kau harus
berusaha! Kaulah wakilku dalam menegakkan tanggung jawab dan amanah ahli
warisku yang banyak ini.” Wanita yang mengaku Ibu Pertiwi itu raib ditelan
sinar terang tadi. Kusno diterkam jutaan pasang mata yang menyala dari balik
kegelapan laksana para serigala lapar mendapati seekor domba gemuk tersesat di
sarang mereka. Kusno diserang ratusan manusia asing yang semakin membuatnya
bingung, mereka semua tampil dengan dandanan budaya kedaerahan yang
berbeda-beda. Membawakan seni budaya daerah dalam ritme cepat dan genre horor. Kusno
dihantui budaya Ibu pertiwi yang plural, semuanya memutar-mutar di otaknya. Kebudayaan
dari Aceh yang kebut memacu lintasan ke Papua berkelebat kencang bagai kilat
terang membelah malam.
Kusno
terbangun dari mimpi yang tidak disangka-sangkanya itu. Jantungnya berdegup tak
karuan. Rosna mengintip dari celah pintu mengamati Kakeknya yang ternyata baru
saja tersadar dari tidur. Kusno mengurut dada berulang kali, menatap liar ke
arah peta yang membentang di hadapannya. ”Tuhan... Aku sadar siapa diriku sesungguhnya.
Lelaki paruh baya yang bermimpi terlalu besar bagi negara ini. Walau kutak
pernah lupa pepatah bijak bertutur ’semakin tinggi harapan maka semakin sakit
jatuhnya’. Aku hanya pandai
berharap. Berharap mulia tanpa pernah bisa bergerak untuk suatu perubahan.
Kutitipkan doa ini pada pewarisku satu-satunya. Kuberharap Rosna jadi pewaris
negeri yang amanah dan bertanggung jawab. Di tangan generasi merekalah negeri ini akan
menemui ahli waris berikutnya.”
Rosna
tersedu di balik dinding, membayangkan jumlah kebudayaan Negeri ini yang tak
cukup terhitung jari. Namun doa itu adalah warisan sekaligus pesan besar bagi
dirinya dan bagi generasi sebayanya. Rosna sangat mengenal Kakeknya yang dulu
seorang pejuang pertempuran kini hanya seorang Veteran. Dulu berperang senjata
kini berperang intelektual. Ia akan berusaha menjalankan pesan itu untuk
menjadi ahli waris yang amanah dan bertanggung jawab akan pusaka berharga Ibu
Pertiwi selama ini yaitu kultur Nusantara dan kemasyhuran Negeri ini.
~AFIK~




Komentar
Posting Komentar