Artikel Sosial: KIAMAT KOMUNIKASI DALAM PRAKTIK BAHASA IBU
KIAMAT KOMUNIKASI DALAM PRAKTIK BAHASA IBU
oleh MOCH. TAUFIK HIDAYATULLAH
Bahasa Ibu dapat diartikan sebagai suatu sistem linguistik yang pertama kali secara alamiah ditransfer dari keluarga khususnya orang tua
kepada anaknya. Bahasa Ibu identik pemahaman tentang bahasa daerah yang menjadi
latar belakang kesukuan dan kedaerahan keluarga tertentu. Sebagai contoh,
bahasa ibu penduduk asli Riau adalah menggunakan bahasa melayu Riau dan bahasa ibu penduduk asli Sumatera Utara adalah bahasa Batak.
Seiring mencuatnya
transisi-transisi peradaban zaman. Bahasa Ibu cenderung ditinggalkan dan tidak
dipedulikan oleh generasi-generasi muda sebagai ahli waris bahasa Ibu yang
berkelanjutan berketurunan. Fakta di lapangan begitu jelas menggambarkan betapa
lemahnya popularitas penggunaan bahasa Ibu dengan fasih serta mendalam. Dangkalnya
kosa-kata dalam penempatan percakapan sehari-hari saja mayoritas orang tidak
ada yang memahami arti dari bahasa suku-suku mereka sendiri. Tidakkah ini
fenomena yang memiriskan hati?
Tanpa mengecilkan hakikat pentingnya berkomunikasi
dengan bahasa persatuan bahasa Indonesia. Bahasa Ibu diklaim tidak cukup kuat
merekatkan pandangan sejumlah orang yang lahir dari asal-usul keluarga yang
berbeda-beda untuk memandang dari satu sudut pandang yang sama. Proses
interaksi sehari-hari dalam hal bahasa komunikasi di tengah masyarakat
multikultural disatukan oleh satu bahasa yang telah disepakati bersama sebagai
bahasa resmi. Tapi apakah ini esensi di balik penggunaan bahasa Indonesia yang
semena-mena menyisihkan porsi bahasa Ibu? Sehingga mengandalkan kefasihan
berbahasa Indonesia dengan sesuka hati dapat memudarkan arti penting bahasa
Ibu?
Bahasa Ibu yang mendekati kepunahan begitu mengkhawatirkan. Perkara ini mampu
mengusik sendi-sendi bahasa Indonesia dan bahasa asing yang akan merasa
diabaikan. Memprioritaskan satu bahasa terkadang membuat banyak orang dominan
terperangkap dalam pemikiran sempit. Ada tiga komponen yang dapat saya runut
sebagai masalah bertingkat terkait bahasa di sini. Mendekatnya bahasa Ibu ke
arah kepunahan diakibatkan kalah kuat perannya dengan bahasa Indonesia yang
mampu mengintegrasikan masyarakat multikultural di Indonesia. Ketika bahasa
Indonesia sudah mampu menjadi bahasa resmi yang digunakan orang banyak. Justru
Bahasa Indonesia menjadi rusak akibat keberadaan bahasa asing yang disadur dan
dipadu-padankan dengan bahasa Indonesia yang di luar kaidah kebahasaan.
Prokem-prokem yang keliru dari virus yang disebar via media masa, trend
berbahasa yang mengaku terkini modernisasi, dan tak kalah penting adalah
pengaruh globalisasi yang menjadi dalang rusaknya bahasa Indonesia. Masalah
tidak berhenti di sana. Penggunaan bahasa asing pun kerap kali tidak sempurna
penggunaannya akibat penyerapan bahasa asing yang tidak sempurna. Sekilas kita
melihat masalah ini begitu kompleks. Kekhawatiran menyurutnya eksistensi bahasa
Ibu akan berpengaruh pada bahasa-bahasa lain yang sejajar kedudukannya.
Lantas apa yang harus kita bingungkan? Berangkat dari
fenomena ini saya mencoba menawarkan sebuah solusi agar menempatkan tiga bahasa
tersebut sesuai kapasitas sehingga menjadi penting pada tempatnya
masing-masing. Dengan demikian tiga komponen bahasa ini akan berjalan serentak
tanpa ada yang harus merasa mengungguli. Lalu bagaimanakah aksi nyata kita
dalam upaya penyelamatan bahasa Ibu dari kepunahan?
Di sinilah peran keluarga sebagai agen penting
pewarisan bahasa Ibu harus lebih intens menyikapi keprihatinan ini. Sebab hanya
dalam lingkungan keluargalah proses inkulturasi dapat terjadi. Dimatangkan dari
latar belakang keluarga untuk menghargai bahasa Ibu, maka ketika anak melebur
dalam pergaulan sehari-hari di tengah tipikal masyarakat multietnis, pentingnya
bahasa Ibu tidak akan pudar ketika bahasa Indonesia menjadi penting sebagai
bahasa permersatu. Sehingga tidak akan tercipta parasitisme antara pelanggengan
bahasa Ibu dan penggunaan bahasa Indonesia.
Upaya terpenting lainnya ialah dengan menanamkan
kecintaan terhadap bahasa Ibu sebagai khazanah berbahasa dan berbudaya kepada
anak. Menanamkan imej bahwa bahasa Ibu bukanlah bahasa kuno dan bahasa
tertinggal yang memang harus ditinggalkan. Contoh positif yang dapat kita
bersama saksikan dalam hal melestarikan bahasa Ibu ini sendiri adalah
masyarakat etnis Tionghoa yang tetap menggunakan bahasa Cina sebagai bahasa
pengokoh solidaritas kelompoknya. Ini membuktikan bahwa bahasa Ibu bukanlah
bahasa tertinggal yang dicap kampungan. Bahkan para masyarakat Tionghoa ini
sendiri fasih dan kompak berdialog dengan bahasa Cina di kawasan-kawasan elit
bisnis dan pusat kota metropolitan?
Di sini pula upaya dalam melestarikan bahasa Ibu agar
tidak punah dapat dijadikan sandaran bagi anak-anak muda generasi penerus.
Manfaat menguasai bahasa Ibu akan mampu menguatkan solidaritas kelompok yang
berasal dari asal-usul suku yang sama. Sebagai contoh seseorang bersuku Jawa
yang menawar dengan bahasa Indonesia akan mendapat harga pasaran umumnya.
Berbeda kondisinya jika orang tersebut menawar dengan menggunakan bahasa Jawa
kepada pedagang yang memang berasal dari keluarga Jawa. Harga yang lebih murah
ataupun potongan harga adalah konsekuensi dari In group feeling merasa senasib dan dari tanah kelahiran yang
sama-sama berasal dari Tanah Jawa.
Kesimpulan yang dapat dirampungkan menatap fenomena
ini adalah: dengan menggali hakikat di balik pentingnya bahasa Ibu maka dengan
keahlian individu menempatkan bahasa Ibu, bahasa Indonesia dan bahasa asing
sesuai tempat dan kondisi. Maka bahasa Ibu tidak akan kalah pentingnya dengan
bahasa Indonesia dan bahasa asing, begitu pula yang berlaku sebaliknya. Ketiga
bahasa ini akan selaras berjalan beriringan tanpa ada satu bahasa yang merasa
mengungguli dan mengabaikan bahasa yang lain. Dengan ini kekhawatiran bahasa
Ibu yang mulai bergerak ke arah kepunahan dapat kita atasi dengan upaya
penyelamatan sebagaimana yang telah saya jabarkan di atas. Keluarga memegang
peran vital dalam melestarikan bahasa Ibu agar tidak raib seiring berjalannya
zaman dengan tak lupa menyisipkan upaya penyelamatan dengan menamkan kecintaan
pada bahasa Ibu, mengubah pola fikir bahasa Ibu adalah bahasa kampung dan kuno
serta memberikan gambaran betapa pentingnya manfaat menguasai bahasa Ibu.
Bahasa Ibu lestari, bahasa Indonesia semakin kokoh
merangkul kebhinekaan serta bahasa asing tak dilupakan sebagai standar
Internasional masyarakat dunia! Dan keyakinan yang harus kita genggam bersama bahwa pantang membiarkan kiamat bahasa ibu.
oleh MOCH. TAUFIK HIDAYATULLAH





Komentar
Posting Komentar