FILM EIFFEL… I’M IN LOVE 2: LABEL SEKUEL DALAM REWEL
G E B Y A R F I L M
I N D O N E S I A
EIFFEL… I’M IN LOVE
2:
LABEL SEKUEL
DALAM REWEL
DALAM REWEL
Oleh Moch.Taufik
Hidayatullah
No. 06 / 19 Feb 18 / Gebyar Film Indonesia
Terpisah
oleh jarak dua benua berbeda, Tita (Shandy Aulia) dan Adit (Samuel Rizal) masih
setia dengan pola lama dalam menata cinta ‘romantis’ ala mereka. Tingkah kucing-kucingan begitu tegas
diafirmasikan sepanjang film bahkan tersuara secara verbal lewat foto-foto
kenangan yang begitu memanggil memori penonton sekuel pertamanya dalam opening credit tittle. Selagi masih
berada di ambang narasi apresiasi, film Eiffel…
I’m in Love 2 menambah suplai judul-judul film Indonesia fenomenal yang
menempuh hidup dan cerita barunya pada sekuel lanjutannya.
Kisah
Eiffel…I’m in Love 2 (2018) memilih
jalannya sendiri dengan keluar dari jalur buku karya Rachmani Arunita. Pengembangan
cerita resmi dilakukan oleh pihak Soraya Intercine Films sebagai keputusan
meneruskan kisah Adit dan Tita versi terkini. Sementara itu, Lost in Love (2008) yang langsung
disutradarai penulis novelnya—dengan rumah produksi dan pemeran Adit dan Tita
yang berbeda—dibuat sebagai sekuel lanjutan film Eiffel…I’m in Love (2003), menimbulkan kisruh kecil yang
mempertautkan banyak asumsi di tengah pecinta film nasional. Bagaimana nasib
Adit dan Tita di tengah tantangan rebut-rebutan pengaruh atas kisah mereka
menurut dua sudut pandang rumah produksi? Lantas film Lost in Love diabaikan begitu saja dan dianggap tak pernah ada
dibuat sebagai kisah lanjutan Eiffel…I’m
in Love? Atau mengambil-alih proporsi mandiri dengan tidak memperhitungkan
sebab-akibat dalam film Lost in Love?
“Eiffel…I’m in Love 2 nggak ada
hubungannya dengan Lost in Love, itu
bukan produksi Soraya. Hak cipta novelnya sudah milik kita, jadi kita berhak
melanjutkan cerita itu dalam bentuk apapun,” jelas Dewi Yulia Razif selaku casting director. (KapanLagi.com, 05
Agustus 2016). Patutnya pertanyaan yang mengawang-awang seputar bagaimana
kelanjutan cerita film remaja yang meledak di pasaran tahun 2003 itu disudahi.
Otoritas masing-masing rumah produksi atas hak meneruskan cerita Adit dan Tita,
dapat dipastikan membelah dua pendapat yang seharusnya memperkaya warna
pengalaman menonton film Tanah Air. Justru dengan langkanya terjadi kejadian
demikian, menciptakan wahana diskursif yang menarik dalam menggebyarkan film
nasional.
Layaknya
sebuah sekuel dari film pendahulunya yang sukses memikat hati penonton, PR
pertama yang disinggung penonton ialah perkara perbedaan. Komparasi film
pertama dan kedua seolah menjadi kewajiban yang menuntut penonton rajin
menganalisis setiap bagian kehidupan para tokoh. Bersamaan pesatnya cara
pandang penonton, rekonstruksi jembatan penghubung memori dari film awal ke
lanjutannya menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya ciri khas dari film yang
telah anyar lebih dulu. Menyaksikan Eiffel…I’m
in Love 2 ini, rasanya Maha populernya brand
Mc Donald dengan segala popularitasnya membuat penonton betah bernostalgia.
Dari Indonesia sampai Prancis, double
cheese burger mewakili penggenapan nafsu makan Tita dari Adit yang terus
diulang-ulang.
Bagian
menarik dari ciri khas yang kekal nan abadi dalam Eiffel…I’m in Love ialah karakter serba rewel. Bila dapat
diumpamakan Tom & Jerry adalah sepasang kekasih, maka itulah jelmaan nyawa
Adit dan Tita. Keseruan yang menyelimuti sahut-sahutan argumen menjadi andalan
dari skenario. Tetapi terkadang, penceritaan yang terlalu rungsing dengan
adegan pertengkaran menjadikan porsi cerita-cerita tertentu menjadi lemah.
Deskripsi
latar belakang kehidupan Adam (Marthino Lio) dan Adit juga terasa dangkal.
Keganjilan dirasakan pada penggambaran kedua pemuda metropolis ini rajin
menghadiahi Tita dengan kado-kado mahal. Namun pertimbangannya yang membuat
dahi mengernyit ialah seberapa tinggi jabatan pekerjaan ataupun seberapa besar
penghasilan gaji dari keduanya hingga merogoh saku sedalam itu untuk
barang-barang mahal bagai menyerahkan peseran uang untuk sebungkus nasi padang.
Narasi film urung mengungkap kehidupan lelaki-lelaki dalam lingkaran kehidupan
Tita ini. Karakter yang samar membuat penonton terpaksa meraba-raba kehidupan
pribadi Adam dan Adit yang tak terlalu memuaskan diceritakan.
Banyak
prahara adu mulut yang terkesan menghebohkan dalam momentum tidak pas atau
dosis pengulangan pola kelahi mulut yang sama sepanjang film. Semakin dalam
mengulik makna Eiffel yang tersemat
dalam judul, inikah kegagahan sang menara yang terang—tersurat dalam lirik lagu
soundtrack dari Melly Goeslaw—sebagai
saksi cinta Adit dan Tita? Kalau saja kontekstual ceritanya tak semata
mementingkan Paris dan sederet impian mendayu-dayu sebagai kota paling romantis
di dunia, Tita sekeluarga tidak perlu jauh-jauh diungsikan ke Paris demi
bertemu Adit dengan alibi mengelola bisnis sang Papa. Padahal banyak fakta yang
menjabarkan Paris tak sesuai ekspektasi kebanyakan orang dikarenakan berbagai
kriminalitas dan kejahatan sosial yang merajalela. Bahkan Paris menjadi
bulan-bulanan yang di-bully halus
dalam film Wa’alaikumussalam Paris (2016)
sebagai kota yang sebetulnya tak seromantis dalam bayangan orang Indonesia.
Selain
itu, penggunaan latar Kota Paris itu tak memegang kekuatan optimal bila
diparalelkan dengan semangat ceritanya. Ibaratnya cerita Adit dan Tita diubah
menjadi pindah ke Malaysia, Korea, atau memilih kota-kota terindah di Indonesia
sekalipun juga tidak akan menggoyahkan pondasi cerita yang memang dilanggengkan
dalam pacaran dua insan yang satunya obsesif dan satunya takut menikah. Sekali
lagi pertanyaannya, “Apakah penggunaan Paris adalah solusi cari aman untuk
meresistensi minat dari para penggemar film pertamanya?” Daya tarik Paris
secara esensial berbenturan dengan realita sosial yang meliputi dinamika
lingkungan sosialnya dewasa ini.
Gangguan
lain yang meresahkan penonton ialah berserakannya ungkapan suara batin Tita
yang membuat film semahal ini menjadi mirip dengan FTV kacangan. Tak
dimungkiri, apabila film pertamanya memang kental dengan suara hati yang
diverbalkan, tetapi rasanya pematangan naskah skenario buntu dalam pilihan antara
hendak melanggengkan yang telah ada atau memprioritaskan kebersahajaan film
umumnya yang tidak terlalu berlebihan dibubuhi suara batin. Tapi jika alasannya
menjaga orisinalitas ataupun karakterisasi dari film pendahulunya, persoalan
ini dapat dikompromikan.
Tetapi
menyambut kehadiran Eiffel…I’m in Love 2,
rasanya penantian pada film-film dari Soraya Intercine Films yang
senantiasa menjaga kualitas dalam eksekusi produksi meliputi: keindahan
artistik, sinematografi terlebih kaya angle
kamera dan color grading yang tak berlebihan, model-model busana yang bagus
sampai komposisi music scoring dari
Melly Goeslaw dan Anto Hoed yang nyaman didengar. Demi film ini, lebih dari
lima lagu dikerjakan untuk mewarnai kisah cinta Adit dan Tita dalam satu album
lagu. Meskipun pada beberapa bagian, latar belakang musik dengan lirik
terdengar terpaksa untuk direlasikan dengan ritme pergerakan gambar.
Dari
permulaan hingga berakhir, Eiffel…I’m in
Love 2 dijamin mampu memberikan pengalaman menonton drama romantis yang
berbeda apabila disejajarkan dengan penanggalan terkini yang naik layar sebelum
Valentine. Meskipun masih sama-sama berebut perhatian dengan Dilan 1990 (2018) yang bertahan
terpajang di banyak layar, film romansa Adit dan Tita seharusnya menjadi
pilihan tontonan atraktif yang harus tegar bertempur dalam situasi demam film
bercerita romantis.
Mengakhiri
narasi apresiasi pada film Eiffel…I’m in
Love 2 ini, dialektika Adit dan Tita menyuarakan bahwa film berbau cinta
masih eksis sebagai komoditas yang siap menjadi magnet penarik perhatian
penonton seantero negeri. Label sekuel yang tersimpan dalam numerik ‘2’,
menggadaikan sebuah pertaruhan daya tarik antara film pertama dan kedua. Tetapi
mendongak tentang suratan roman picisan, industri kreatif berupaya untuk selalu
peka dan merasa tertegur oleh banyak rambu-rambu mendidik penontonnya. Termasuk
film-film bertema besar mengenai kasih dan cinta sepasang kekasih. Memang bukan
kerjaan sepele, sukarnya menata cerita cinta berisiko pada wibawa film layar
lebar dan film televisi yang sering tersandung sampai bertukaran liang eksekusi
yang tidak tepat. Tapi tak perlu ambil pusing, persoalan ini telah menjadi rewelan
langganan. Tapi tanggung jawab menerjemahkan resep rewel Adit-Tita kembali pada
banyak pribadi. (GN-©MTH)






Komentar
Posting Komentar