FILM SURAT KECIL UNTUK TUHAN: HAM ANAK JALANAN DALAM SURAT UNTUK TUHAN
G E B Y A R F I L M
I N D O N E S I A
SURAT KECIL UNTUK
TUHAN:
HAM ANAK JALANAN
DALAM SURAT UNTUK
TUHAN
Oleh Moch.Taufik
Hidayatullah
No. 08 / 21 Feb 18 / Gebyar Film Indonesia
Perbudakan
anak jalanan masih terus menjadi hikayat menyayat, meramaikan pemberitaan media
massa serta membuka peluang lebar dalam mendatangkan tawaran job lembaga bantuan hukum untuk unjuk
kompetensi dalam banyak jadwal sidang pengadilan.
Surat Kecil Untuk Tuhan (2017)
bertaruh dengan amunisi cerita berupa potret muramnya carut-marut sepasang
Kakak-beradik yatim piatu yang terdampar ke kejamnya kehidupan jalanan, dengan
tiga film nasional libur lebaran lain yang bersenjatakan drama keluarga sarat
lawakan pengocok perut.
Membandingkan
dengan Insya Allah Sah (2017) dan Sweet 20 (2017), kekuatan kemasan film
produksi Falcon Pictures yang nyaris tak ada unsur komedinya ini mempunyai
persiapan matang yang diasah lewat perbekalan kekuatan skenario dan production value. Tak perlu menyinggung
film Jailangkung (2017) yang memenuhi
layar studio bioskop, pasangan terpopuler Jefri Nichol dan Amanda Rawles
menjawab trik penjualan film ini. Tapi menyelaraskan selera publik bukan
perkara enteng yang mudah dalam negosiasi muatan cerita. Di tengah tantangan
mempersiapkan film untuk masyarakat Indonesia yang sedang ketagihan tertawa,
film berbau drama menyedihkan yang menguras emosi ini terpaksa terkultus dalam
berbagai spesifikasi yang jarang ditemukan pada film Indonesia lainnya.
Salah
satu bukti yang menarik diulas ialah soal judul yang serupa benar dengan film
produksi Skylar Pictures beberapa tahun lampau yang juga berangkat dari cerita
novel oleh penulis yang sama. Menilik judul Surat
Kecil Untuk Tuhan tahun 2017, kontan masyarakat pecinta film nasional akan
ditarik nalarnya kepada film tahun 2011 silam. Judul serupa sempat menjadi brand yang mengantongi atensi publik
cukup besar kala itu dengan menjual cerita perjuangan Geta Sesa Wanda Cantika
sebagai penderita kanker Rhabdomyorsarcoma.
Tetapi jangan harap pada film yang dibintangi Bunga Citra Lestari dan Joe
Taslim ini, kita akan menjumpai selang infus, ranjang rumah sakit, kemotrapi
ataupun pergaulan gadis ABG yang tulus mencurahkan empati kepada sahabat
tercinta.
Pasalnya,
Surat Kecil Untuk Tuhan akan dibuat brand khusus yang menjadi seri
kisah-kisah inspiratif layaknya Chicken
Soup for The Soul. (Kompas.com, 29
Juli 2016). Mendukung keterangan dari penulis novelnya, Frederica selaku
pihak Falcon turut menyampaikan, “Ini bukan remake.
Ini cerita berbeda dengan beberapa tahun lalu. Ini cerita baru dengan judul
yang sama. Kita lihat film ini satu brand
yang berpotensi dibuat sekuel.” (DetikHot, 05 April 2017). Sejenak
masyarakat bergeming pada keputusan ini, namun wacana ini jelas semakin
memperkaya khazanah sejarah perfilman Indonesia dalam berbagai segi. Termasuk
dikukuhkannya suatu brand film untuk
berbagai produksi dengan cerita beraneka. Terciptanya simbiosis yang saling
menguntungkan dengan melibatkan kedekatan penonton pada citra brand sekaligus tabungan pengalaman dari
menonton film versi terdahulu yang juga menggunakan brand sama. Pendekatan komunikasi menjadi penting melihat fenomena
yang unik dalam ranah perfilman Tanah Air ini.
Dengan
mengandalkan merek Surat Kecil Untuk
Tuhan, pertanyaan lanjutan muncul berkesinambungan, “Apakah judul ini telah
betul-betul maksimal dipersiapkan untuk tema-tema drama yang monoton dalam jangka
waktu ke depan?” Sukar memang menjanjikan sebuah jalinan cerita yang utuh dalam
kemasan drama serius di kalangan penonton Indonesia apabila formasinya
diberlakukan demikian? Biarlah ini menjadi pertanyaan yang difermentasikan
sebagaimana anggur. Semakin lama tersimpan dalam rak, pertanyaan ini kian
mengasah kejelian pegiat perfilman nasional untuk terus mempersiapkan berbagai
persepsi dan pastinya menjadikan kualitasnya unggul.
Menghabiskan
jatah durasi Surat Kecil Untuk Tuhan, resmilah
penilaian disimpulkan bahwa film ini sama sekali tak bermaksud mengajak
penonton tertawa oleh kekonyolan. Ratapan dan bayangan ketakutan menyelimuti
sepanjang cerita yang skenarionya ditulis oleh Upi ini. Penonton diajak
bergumul dengan pertanyaan seputar pelarian, keadilan, keberanian, menghadapi
risiko, dan seruan menyelamatkan banyak jiwa yang terjajah. Sekental-kentalnya
drama Surat Kecil Untuk Tuhan, banyak
bagian yang menarik dibedah dalam menghadapi problematika perdagangan anak-anak
jalanan. Penonton disuapi oleh cemilan-cemilan kesedihan berlarut yang
merapatkan kita pada kekuatan yang nyata: Tuhan.
Kegelisahan
yang disuarakan membuat penonton film Indonesia refleks menganggap genre drama
ini mewajibkan persiapan tisue berlembar-lembar. Begitu bengisnya dunia luar
mendikte ideologi anak-anak jalan yang aslinya polos. Yang seakan tak
mempermasalahkan diperah tenaganya untuk menyetor pendapatan dari mengamen,
mengemis, ataupun mencopet ke oknum. Realita ini juga terasa menentang andil pejabat
negara, betapa minimnya sentuhan kepedulian pemerintah yang hanya sibuk
menertibkan mereka tanpa pernah berniat mengurusi luka-luka batin mereka. Film
ini dapat dikatakan menyerukan aksi menyayangi anak-anak jalanan tanpa harus
semena-mena melabeli mereka sebagai gembel pemalas. Terdapat cerita khusus yang
membeku dalam benak mereka yang tak diketahui banyak orang. Pada bagian ini, sepasang
Kakak-beradik tidak siap menghadapi pahitnya fakta di jalanan ini hingga terpisah selama lima belas tahun
lamanya.
“Kamu
nulis apa?”
“Nulis
surat.”
“Buat
siapa?”
“Tuhan.”
Percakapan
Anton dan Angel—nama yang lumrah dipakai Agnes Davonar untuk banyak bukunya yang
kemudian difilmkan seperti My Last Love
(2012)—di umur belia itu terasa ampuh menggetarkan, namun terlantunnya original soundtrack bertajuk “Menyebut
Nama Allah” di akhir film yang dibawakan Purwa Caraka Choir seakan menohok.
Tuhan mana yang diserukan dan ditujukan Angel? Penggunaan idiom ‘Tuhan’ seakan
menebalkan pentahbisan bahwa Tuhan yang dituturkan sepanjang film bersifat
universal yang ditujukan tidak merujuk pada identitas agama manapun. Tapi sorotan
ciri-ciri area pekuburan Anton mengomunikasikan sebuah kejelasan bahwa Tuhan
ini mengacu pada Allah Azza Wa Jalla. Nama
yang agung dalam keyakinan ke-Esaan Tuhan pemeluk Muslim. Lagu Menyebut Nama Allah terdengar mengusik
kuatnya genre drama bertajuk ‘Tuhan’ ini kendati memberi afirmasi pengiringan
muatan pendekatan Islam.
Lalu
mengapa tidak sejak awal menempatkan nama ‘Allah’ dari judul hingga dialog para
tokoh? Pun diberlakukan demikian, kekuatan diksi ‘Tuhan’ tetap dapat
memparafrasakan keprihatinan yang menyayat dan menguras air mata sekalipun
tanpa disertai lagu Menyebut Nama Allah.
Sisi-sisi terkelam kota metropolitan masih bisa dirasakan lewat remah-remah
sarat estetika dan gradasi warna yang menakjubkan tanpa redaksi verbal yang
dilagukan. Dan sekali lagi, tidak perlu lagu religi bernada pemantik keharuan.
Rasanya
dialog Anton dan Angel kecil seputar Tuhan menjadi sekadar sebutan tak
beresensial. Namun kenyataannya, kontekstual Tuhan terasa rentan bila situasi
cerita yang dibangun tidak relevan. Mendengarkan penyebutan Tuhan terasa
mengganjal manakala kebiasaan mengkhidmati keadaan sebagai kesyukuran atau
kepasrahan pada Tuhan dalam Islam ialah langsung mengucapkan nama ‘Allah’.
Alternatif lain setidaknya menyerukan: “Ya Rabb” ataupun “Ya Rabbi”. Sedangkan
pembiasaan dalam film garapan sutradara Fajar Bustomi ini yang sejak awal
adalah Tuhan lalu mendadak semakin menginjak akhir cerita ditautkan pada
tindakan normalisasi penyebutan Allah lewat pengucapan verbal lirik lagu yang
mengiringi. Bila berbicara interpretasi situasi, penyebutan ‘Tuhan’ tetap
dipertahankan tidak menjadi soal jika tanpa diikuti dendangan paduan suara yang
menyebut nama ‘Allah’. Ini semata soal kebiasaan.
Kondisi
diliputi kerancuan yang menggelayut sepanjang penceritaan pernah dijumpai dalam
film Moga Bunda Disayang Allah (2013).
Antara meneguhkan konsistensi digunakannya nama ‘Allah’ terasa mencoba
mengentalkan ruang yang serba religius. Pertimbangan utamanya barangkali sebab
berangkat dari novel karya Tere Liye berjudul sama ataupun menyisipkan
stimulus-stimulus dalam rangka mengarahkan film ini sebagai drama Islami.
Sayangnya melihat kontekstual cerita serta rangkaian cerita yang dibangun,
kelaziman menyebut nama ‘Allah’ seolah memaksa kehadiran Tuhan dalam kehampaan
dunia sang tokoh utama film.
Tidak
dapat dimungkiri, Anton dan Angel tidak dapat terpisah dari doa-doanya pada
Tuhan. Menghadapi kejamnya perlakuan insan tak berperikemanusiaan yang tak
memiliki hati nurani, film ini menunjukkan taring kekuatannya. Keindahan hidup
terkelam sekalipun begitu kuat terbaca oleh penggambaran setting dan color grading film
yang didominasi berkas sinar kuning, hijau, dan merah. Tidak ada komposisi
warna ini yang langsung menyengatkan kesadaran kita akan konsepsi lampu lalu
lintas di persimpangan.
Simbol
lampu rambu lalu lintas dengan tiga warna: merah, kuning, hijau yang secara
repetitif digambarkan, memancing pemaknaan tertentu atas cerita ini. Merah
memerintahkan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau yang
menganjurkan melanjutkan perjalanan setelah jeda. Detilnya hakikat
simbol-simbol warna yang dilukiskan sepanjang film ini terasa kuat lewat
penggambaran adegan per adegan. Disokong oleh pengaturan grading yang memberikan sentuhan kelam, ketiga warna ini
menyiratkan arti penting dalam tiap tarikan nafas anak-anak jalanan. Hembusan
napas keletihan dan kucuran keringat beraroma tak sedap terus diraba oleh ketiga
warna lampu lalu lintas tersebut.
Mengakhiri
narasi apresiasi film Surat Kecil Untuk
Tuhan ini, kehebatan memainkan peran dari Bunga Citra Lestari dan Lukman
Sardi yang menonjol semakin membuat penonton kebablasan dalam mengumpat
pelaku-pelaku bengis yang konon mengaku penyelamat anak-anak jalanan. Tuhan
diasumsikan tidak hanya sekadar pelindung namun pencipta kebetulan-kebetulan
yang rapi dalam sebuah porsi anak manusia. Angel yang selamat dan dibina orang
tua angkatnya di Australia lalu memilih turun menyinggahi masa lalunya dengan
mencari sang Kakak.
Di
sisi yang berbeda, film ini bangga memamerkan prosesi para penegak hukum dalam
pengadilan, tetapi sudah adilkah lensa kamera memotret keseluruhan derita
berlapis-lapis dari kasus anak-anak jalanan yang tak terawat? Keterbatasan
jangkauan mencapai inti derita anak-anak jalanan, film ini menjawab pemenuhan
kontribusi sebagai relawan yang simpati pada pemandangan memprihatinkan ini.
Hukum yang tak memilih bulu, menjamin keadilan tegak sekokoh-kokohnya. Semanis
apapun para oknum bernegosiasi di hadapan hukum, kekejian memperalat anak-anak
jalanan sampai perdagangan organ tubuh yang menindas hak asasi manusia itu tetap
bak aroma bangkai yang urung disembunyikan. Terimalah film ini dengan sukarela,
menjawab gugatan HAM masyarakat sipil lewat selembar surat untuk Tuhan. (GN-©MTH)





Komentar
Posting Komentar