FILM BUNDA: KISAH CINTA DUA KODI: PORSI OTONOMI UNTUK DUA KODI
G E B Y A R F I L M I N D O N E S I A
BUNDA: KISAH CINTA
DUA KODI:
PORSI OTONOMI
UNTUK DUA KODI
UNTUK DUA KODI
Oleh Moch.Taufik
Hidayatullah
No. 07 / 20 Feb 18 / Gebyar Film Indonesia
Film
Bunda: Kisah Cinta 2 Kodi merupakan
adaptasi novel karya Asma Nadia, penulis wanita Indonesia yang berbagai judul
bukunya telah laris-manis diadaptasi menjadi film layar lebar sampai serial
televisi. Garis besar film ini adalah mengangkat sepak terjang Bunda Kartika
yang dituntut tegar dalam berbagai kondisi hidup yang memprihatinkan. Tekanan
yang berbeda-beda menantang Bunda harus lihai menyikapi situasi dari sudut
pandangnya. Dinamika pemakaian sistem berpikir ataupun membaca masalah itu yang
menjadi sumber kekuatan atau kehancuran Bunda sepanjang film.
Namun
rasanya tambahan keterangan ‘Kisah Cinta
2 Kodi’ di bawah judul Bunda yang
mungkin diskemakan dalam ukuran besar nan mencolok, tidak terlalu mewakili
keseluruhan kekuatan Bunda. Cerita dua kodi hanyalah kepingan kecil dari
perjalanan hidup Bunda yang sejatinya memiliki daya tarik jauh lebih besar pada
bagian lain. Asumsi yang dapat diterka di benak masyarakat ialah sebatas
mengaitkan sense of belonging dari
cerita novel yang berjudul ‘Cinta Dua
Kodi’ ataupun membedakan dari judul-judul film terdahulu yang telah
menggunakan kata ‘Bunda’. Kendati
tanpa tambahan ini, judul Bunda sesungguhnya
telah mempunyai nyawa kuat atas kronik kehidupan Bunda yang sarat kekuasaannya
sebagai perempuan.
Adidaya
perempuan sangat lugas digelorakan Bunda Kartika (Acha Septriasa) dengan
berbagai kekuasaannya dalam film karya duo sutradara ini. Setidaknya, Bunda
dikisahkan berwenang atas berbagai hal pada banyak waktu dan kesempatan. Segala
ucapannya adalah sabda pantang terbantah meski pada beberapa bagian berbalik
menjadi bumerang pada kredibilitas figur Bunda sendiri. Kekuatan wanita
tergambar sangat dramatis lewat atraksi perlawanan yang menolak diri sebagai
makhluk lemah. Perhatikan adegan Bunda Tika yang bersusah-payah dengan
kandungan besarnya tertatih untuk melahirkan ke rumah sakit seorang diri
ataupun menggebu-gebu dalam merampungkan proyek desain busana.
Tapi
kenyataannya, sejumlah penggambaran mengakibatkan simbol Ibu yang kuat itu
sering kali mengalami degradasi. Bunda terancam kalah oleh kekuatannya sendiri
lewat batas-batas kesabaran yang dilanggarnya begitu saja saat sekelilingnya
menumpu harap pada curahan perhatiannya. Ia nyaris gagal mengelola sikapnya
dalam memposisikan diri sebagai Ibu bagi anak-anak ataupun istri bagi suaminya
lantaran porsi otonomi yang dimanajemen mandiri. Entahlah memang cerita ini
disesuaikan sama persis dengan kenyataannya—mengingat cerita adaptasi novel
karya Asma Nadia ini merupakan kisah nyata—ataupun sengaja tetap menjaga
normalitas Bunda dengan sederet sifat-sifat manusiawinya.
Tema-tema
wanita karier yang berjuang menghadapi situasi dilematis—dalam banyak
segmentasi kehidupannya—mungkin telah umum mewarnai jagat perfilman nasional.
Kalau saja film Bunda, Kisah Cinta 2 Kodi
(2018) ini dianggap konten klise, realitanya isue feminisme sudah menjamur
dalam berbagai judul film kita. Hanya saja kemasan dan angle yang dipilih memperkaya merangkap menajamkan pemikiran bahwa
feminisme adalah isue laku untuk dituangkan dalam media audio visual. Mengupas
film produksi Inspira Pictures ini, Bunda merepresentasikan wanita karier yang memiliki
etos kerja tinggi hingga berhasil menjadi pengusaha busana anak muslim dengan merek
populer Keke di Indonesia.
Sebelum
sampai pada kejayaan Bunda dengan merek Keke
itu sendiri, Bunda harus melewati berbagai gerbong ujian hidup. Sepintas
hal ini menanamkan kesan tersendiri, dominannya penggunaan transportasi kereta
api rasanya turut mengafirmasikan makna kehidupan Bunda yang betul-betul bagai
konsepsi kereta api berbelas gerbong yang harus dilalui ataupun saksi bisu
sepanjang sejarah Bunda. Bahkan Bunda bertemu Farid (Ario Bayu) suaminya juga
dalam perjalanan kereta api, kehilangan kedua bocah perempuan menggemaskannya
juga lantaran terjebak di kereta api, sampai mandeknya rencana Bunda mengejar
jam fashion show produk desainnya
sendiri juga berkat pertolongan reporter televisi di gerbong kereta api. Penggambaran
ini memiliki kedekatan luar biasa dalam pemaknaan Bunda dan gerbong kereta api.
Meski tak terlalu verbal diungkapkan, gerbong kereta api mengomunikasikan
banyak perasaan Bunda yang dicampur-aduk menjadi manunggal cerita panjang.
Rintangan
hidup yang hadir silih-berganti mendera seorang wanita berpemikiran tinggi menjadi
formula kisah Bunda sepanjang durasi film. Dari kasus penipuan bisnis, retaknya
hubungan rumah tangga dengan kehadiran orang ketiga, mental Bunda yang runtuh
akibat nilai rapor anak-anak yang tak memuaskan, bayangan mengecewakan
atasannya yang telah memberikan kepercayaan, dan banyak lagi itu dipertemukan
dalam satu narasi: perempuan hebat dan aksinya ‘mengalahkan’ kasusnya. Sekali
lagi, ‘mengalahkan’ kasusnya dan bukan menyelesaikannya. Sebab banyak porsi
cerita permasalahan yang membuat Bunda jengkel namun jalan keluar bukan sepenuhnya
diputuskan dari Bunda. Kehadirannya dianalogikan bagai pemain akrobatis sirkus
menyelesaikan perjalanannya meniti seutas tali dengan api berkobar di bawahnya.
Bunda hanya berhasil melintas ke seberang tanpa berarti memadamkan api yang
masih menyala di bawah titiannya.
Di
titik inilah, Bunda berorasi tentang otonomi perempuan. Barangkali ia juga
himpunan wanita yang meneriakkan, “Perempuan tidak pernah salah.” Tapi apiknya,
film ini tetap memberikan kesempatan Bunda untuk mengakui kesalahan. Salah satu
contohnya, penyesalan diselingi tindakan melepas kerudung terasa mengokohkan
keyakinan penonton bahwa perempuan tidak selalu benar. Penulis memaklumi
barangkali Bunda dipersiapkan bukan sebagai malaikat tanpa cela, melainkan
kehadirannya hanya sosok wanita biasa yang berupaya tangguh dalam cobaan hidup
yang menderanya. Bunda sering kali meluapkan amarahnya tanpa kontrol hingga
suami dan kedua putrinya menjadi korban amukannya. Bunda dicitrakan sebagai
sosok emosional, futuristik, pekerja keras, dan otoriter. Tapi naluri kasih
sayang dari seorang perempuan, dilengkapi keshalihahan Bunda lewat ketaatan
beribadah dan kerudung yang dikenakannya menjadikan Bunda sebagai cerminan dua
sisi perempuan yang terpaket dalam satu kepribadian. Tidak ada simpulan yang
merujuk Bunda sebagai manusia serba sempurna ataupun totalitas tercela. Bunda
berikut otonominya berdiri di tengah, tanpa peduli dan tak berkeinginan merusak
sekat antara keduanya. Ia hanya menikmati hidup dalam deritanya.
Bunda
juga mengabarkan sebuah fakta bahwa obsesi wanita dengan desain pemikiran
setinggi apapun akan patah oleh lingkungan sekitar yang tak menyokong
kekuatannya. Terlebih orang-orang terkasih yang menjadi benteng terakhirnya
dari dunia luar. Narasi kekuatan perempuan ditata begitu hati-hati agar tak
mencuatkan kesan bahwa wanita itu kerap jatuh oleh orang lain ataupun jatuh
oleh dirinya sendiri. Di satu sisi, Bunda tampil sebagai wanita perkasa dengan
kekuatannya namun tetap teguh menjaga fitrahnya yang tak bisa lepas dari
pertimbangan penilaian subjektif anak-anak
dan suaminya.
Membincangkan
kekuatan berikut kekuasaan Bunda sebagai perempuan terasa kental dalam poster
filmnya. Bunda ditempatkan di atas ranjang dengan pose ala ratu yang di
bawahnya terdapat suami dan kedua buah hatinya yang tengkurap di bawah ranjang.
Poster film Bunda: Kisah Cinta 2 Kodi ini
sangat menyanjung kekuatan perempuan sebagai penakluk—walaupun filmnya tak
selalu berbicara demikian—yang teguh memegang pesan feminisme. Perempuan juga
mempunyai tempat tinggi dalam menentukan jalan hidupnya. Tetapi segencar apapun
berbagai penggambaran perempuan dan otonominya disiratkan dalam film ini, pesan
utama yang disisip dalam film ini tetap mementingkan bahwa memuliakan perempuan
adalah sebuah kehormatan. Tetapi sekalipun film ini menyinggung porsi campur
tangan perempuan atas hidupnya dan kehidupan orang sekitarnya, penonton tidak
akan mendapat pembekalan pemahaman seberapa jauh batas-batas ataupun porsi
otonomi seorang perempuan dalam lingkup berbagai permasalahan yang konkret.
Terlepas
dari berbagai kajian bermuatan kritik ataupun argumentatif, film ini patut
diapresiasi sebagai sumbangsih dalam memberikan ragam yang kian tinggi dari
segi kualitas dan kuantitas film Indonesia. Kekuatan acting dari Acha Septriasa terasa memukau bahkan menggetarkan
penonton dalam gelombang haru ataupun ikut tegang dalam gejolak kemarahannya.
Sinergi peran antar tokoh juga berhasil menciptakan suasana yang kompak dalam
menghidupkan perjalanan seorang Bunda Kartika.
Mengakhiri
narasi apresiasi film Bunda: Kisah Cinta
2 Kodi ini, cerita mengenai Ibu dan keluarganya menjadi sajian cerita kontemplatif
yang memberikan pembelajaran akan makna kekuatan dan pengorbanan. Meskipun
sebagai manusia, perempuan memiliki tindak-tanduk yang menuntutnya untuk butuh
sandaran orang lain atau bergerak dengan pijakan kaki sendiri. Perempuan
diperkenankan menjangkau cakrawala semesta dengan dayanya sendiri, tetapi pada
bagian-bagian tertentu, ia sama halnya laki-laki yang tak lepas dari
kekurangan. Film Bunda: Kisah Cinta 2
Kodi sekali lagi mengajak penonton untuk terus bertanya dan tak letih mencari
tahu jawabnya. Seberapa besar porsi otonomi perempuan untuk menata hidup dan
kehidupan orang-orang sekelilingnya? (GN-©MTH)







Komentar
Posting Komentar