FILM BENYAMIN BIANG KEROK: DEMENNYA PENGGAL- PENGGALAN



G E B Y A R    F I L M   I N D O N E S I A
BENYAMIN BIANG KEROK:
DEMENNYA
PENGGAL-
PENGGALAN
Oleh Moch.Taufik Hidayatullah
No. 34 / 22 Maret 18 / Gebyar Film Indonesia



          
  Tidak mudah menghidupkan kembali sosok legendaris negeri ini dalam sebuah modifikasi cerita baru yang seutuhnya. Katakanlah berbagai nama tokoh yang diborong para produser untuk berlomba-lomba diangkat menjadi film layar lebar biopik, dari tokoh penting sampai kalangan ‘baru’ penting yang dinilai mempunyai nilai jual untuk memikat masyarakat. Berbagai tantangan dihadapi, risiko diambil, dan sejumlah konsekuensi ditanggung para pembuat film sewaktu realitas nyata dikonversi menjadi kebutuhan cerita film.
            Mengikuti perjalanan film dari Falcon Pictures, konsistensi menghadirkan film-film komedi membentuk corak naratif tersendiri bagi rumah produksi ini. Berbagai asumsi berlalu-lalang dalam pikiran masyarakat, mungkin saja Falcon terlalu nyaman di zona aman komedinya ataupun ketakutan memilih berpaling dari jalan cerita andalannya. Setelah ramai diperbincangkan dan menjadi perhatian tersendiri di kalangan pemerhati film, tampaknya Falcon masih giat memproduksi film-film model reborn. Beragam versi dicoba direka ulang, mulai dari adaptasi buku sampai menjadikan film-film lawas terdahulu sebagai inspirasi baru. Setelah mengangkat potret ‘reinkarnasi’ trio pelawak ulung Indonesia Warkop DKI serta mendulang sukses dari dwilogi film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! (2016 dan 2017), kini giliran Babeh Benyamin Sueb menjadi sumber inspirasi dalam film terbaru yang diluncurkan awal Maret 2018 ini. Tokoh legendaris ini diolah menjadi sajian cerita baru yang lebih segar dengan berbagai pembaharuan lintas segi dan dimensi terkini.
            Film ini digadang-gadangkan mampu meledak dengan isue-isue yang lebih awal disebar-luaskan. Lihat saja serangkaian promosi menyambut film ini di jaringan bioskop! Parade budaya khas Betawi dari arakan ondel-ondel, karnaval, pencak silat, kuliner, tari topeng, boneka ondel-ondel raksasa dan berbagai atribut budaya lainnya berlangsung berhari-hari. Berharap demam Benyamin Sueb dapat sejajar dengan antusiasme penonton menjemput waktu tayang film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 atau Part 2. Kenyataannya cetak biru dari tim Falcon seakan menemui jalan buntu. Berlalu hari demi hari penayangan, media sosial Falcon tak kunjung memperbaharui informasi peraihan penonton. Sementara masih belum bergeming demam film Dilan 1990 (2018) yang informasi pencapaian penontonnya masih disiarkan ke publik hingga kini.
            Sekilas film Benyamin Biang Kerok benar-benar memancing minat melalui gambaran posternya yang begitu kuat mengomunikasikan atmosfer komedi. Pilihan warna biru dan jingga memancarkan aura meyakinkan sebagai tema pembalut jajaran aktor-aktrisnya. Arsitektur gedung ala Ibukota Jakarta hingga monas juga digambarkan dalam poster yang didominasi wajah Reza Rahadian di bagian atas sebagai lambang metropolisnya Ibukota. Tebakan pun akan dibenarkan bila merujuk bahwa cerita ini berkutat pada problematika masyarakat Betawi modern yang tinggal dalam pusaran wilayah Ibukota. Namun pastinya film ini bakal diselingi adegan musikal dengan lantunan lagu-lagu khas DKI Jakarta dan tari-tariannya. Pun ini telah disinggung sejak awal dalam materi teaser poster dan official trailernya.
            Menyelami cerita Benyamin Biang Kerok, Pengki alias Benyamin putra Betawi dari orang tua kaya raya pengusaha IT terbesar di Indonesia. Terlibat konflik dengan mafia besar bernama Said Toni Rojim dengan berbagai drama ngeri-ngeri sedap dalam membongkar dunia kelam dari bisnis kasino sampai perempuan-perempuan. Dan sekelumit adegan silat lidah yang kocak antara Pengki dan Enyak, Empok, dan kedua rekan sepermainannya yang digambarkan canggih pola pikirnya dalam segala ketidaklogisannya.
            Cerita Benyamin Biang Kerok bergulir bersama banyak adegan yang melaju secepat cahaya. Kalau saja boleh mengakui, kita akan terkejut ternyata film ini dikomandoi Hanung Bramantyo sebagai sutradara. Banyak hal mengganjal yang rasanya membuat penuturan film ini terburu-buru. Alangkah banyak lompatan cerita yang terkesan membuat durasi ini terlalu ringkas namun diperlama dengan komposisi lagu-lagu ala film India.
            Entah koheren dengan penataan cara bercerita itu pula, akting Reza Rahadian sebagai Benyamin tidak terlalu terkeksplorasi merata. Sebagaimana andalan berbagai judul film, Reza Rahadian kembali dipercaya memerankan orang-orang terkenal setelah BJ Habibie dalam Habibie & Ainun (2012) dan Rudy Habibie (2015), Guru Bangsa dalam Guru Bangsa Tjokroaminoto (2016), dan Donald Pandiangan dalam Tiga Srikandi (2016). Untuk film ini, Reza masih tampil prima namun tidak seistimewa dalam film-film terdahulu yang kerap menimbulkan decak kagum sewaktu memerankan Bossman dalam My Stupid Boss (2016) produksi Falcon Pictures juga.  Bila kita memutar ingatan sedikit ke belakang, pembawaan komedi dalam film di mana Hanung Bramantyo sebagai kapten dalam Jomblo (2017) masih terasa ‘menggigit’ di mana perasaan penonton berhasil diajak berpetualang dalam banyak relung pergolakan pengalaman menonton.
            Seandainya penonton hanya sekadar penikmat film biasa, perasaan dongkol menjadi oleh-oleh paling mahal ketika menyaksikan Benyamin Biang Kerok. Kembali menerapkan sistem penggal-penggalan dengan tipe bersambung bagai sinetron televisi sebagaimana di Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! . Parahnya berakhirnya film seri pertama ini berada di klimaks penonton menikmati alur cerita. Entah bagian dari strategi pemangkasan atau memang diputuskan ‘amat’ menggantung di adegan penting. Yang jelas kemungkinan penonton film pertamanya dengan persentase bakal melanjutkan menonton film seri keduanya hanyalah 50:50. Tapi tidak ada yang dapat menduga bagaimana nasib film Benyamin Biang Kerok Beruntung sebagai lanjutan sekuelnya ini di penghujung tahun 2018 ini.
            Terlepas dari berbagai catatan memprihatinkan atas film ini, berbagai penghormatan atas dedikasi membumikan kebiasaan masyarakat yang berpijak pada adat-istiadatnya harus diacungi jempol. Berbagai elemen budaya Betawi begitu indah digambarkan melalui penataan busana, artistik—bahkan muncul manekin layaknya Si Pitung—begitu menjanjikan kesan Betawi asli walau tampil sekilas, penggambaran tari-tarian lengkap dekorasi sekelilingnya, gerobak dan kulinernya, dan istilah-istilah dalam opening credit tittle yang menggunakan bahasa betawi seperti dalang merujuk sutradara, yang punya gawe merujuk produser eksekutif, juragan merujuk produser, tukang gambar merujuk editor film, dan sebagainya. Walau sempat dicibir oleh berita yang meresahkan progresivitas film ini dengan serangan kritik oleh masyarakat adat Betawi gara-gara realitas masyarakat Betawi yang tak linear dengan kenyataan, tetapi film ini tetap teguh menamengi kritik itu dengan suguhan substansi budaya Betawi yang lebih tangguh menangkis. Bila hendak turut campur dalam serangan kritik itu, penulis secara independen akan membela bahwa potret tarian streaptise, perjudian, alkohol dan sebagainya bukan mewakili realitas masyarakat Betawi namun bagian dari penggambaran sisi kelamnya Ibukota Negara.
            Mengakhiri narasi apresiasi film Benyamin Biang Kerok, film ini tetap memberikan jaminan sensasi pengalaman menonton film komedi yang berbeda walau tak memberi garansi apapun. Kekecewaan maupun kepuasan terpulang kepada benak penonton yang telah berkelana bersama Pengki dalam menyelamatkan pujaan jiwanya namun terkatung-katung nasibnya di pertengahan cerita. Film ini tetap utuh menyampaikan pesan meruwat kebudayaan di tengah pesatnya budaya asing menggerus sendi-sendi adat lokal di Indonesia yang sejatinya berpaku pada norma ketimuran. Tetapi tetap saja bakal keluar dari studio seraya membatin, “Ah, pilem falcon demennya penggal-penggalan.  (GN-©MTH)

Komentar

Postingan Populer