FILM YOWIS BEN: WARNA JAWA DALAM SINEMA
G E B Y A R F I L M
I N D O N E S I A
YOWIS BEN:
WARNA JAWA
DALAM SINEMA
DALAM SINEMA
Oleh Moch.Taufik
Hidayatullah
No. 33 / 21 Maret 18 / Gebyar Film Indonesia
Saben
bengi aku
Gak
iso turu
Gak
iso turu
Kelingan
awakmu
Saben
wengi aku
Gak
iso turu
Gak
iso turu
Mikirno
awakmu
Nyanyian
andalan grup band bernama Yowis Ben ini
masih hangat di kening dan mendayu-dayu di pendengaran. Betapa tajamnya unsur
kearifan lokal yang diusung, membuat film ini begitu lekat dalam memori
penonton. Sebut saja para penonton yang di luar suku Jawa, lagu tersebut masih
tetap nyaman dinikmati bahkan mudah dicerna maknanya bahkan dapat dihafal luar
kepala tanpa direncanakan. Terlepas dari penggunaan subtittle sepanjang film yang mengarahkan sensasi menonton film
asing—khususnya yang tidak memahami bahasa Jawa—dari awal durasi bergulir
hingga film berakhir, Yowis Ben tetap
menjadi tontonan memikat untuk seluruh kalangan tanpa peduli latar belakang
kesukuan. Sekaligus membuktikan Bayu Skak selaku pionir dari segala ritme dan
substansi film ini dalam meyakinkan masyarakat akan kapabilitasnya meracik
cerita dalam gulatan dunia perfilman.
Hadirnya
film Yowis Ben (2018) garapan Fajar
Nugros dan Bayu Skak ini sejatinya wujud karya industri kreatif yang
membanggakan. Tak sebatas tontonan komedi namun film ini dengan lantang
menyuarakan bahwa kearifan daerah di Indonesia adalah aset berharga untuk
merefleksikan sebuah realitas yang layak disimak. Membedah konten budaya turut
memberi arti dalam menghargai warisan leluhur dari dahulu hingga era
modern saat ini. Bayu Skak telaten
memberikan sentuhan menarik lewat ceritanya dengan mengeksplorasi Kota Malang
dalam banyak sudut kota yang menarik seperti alun-alun sampai Kampung Pelangi.
Penggambaran yang apik tergabung dalam rangkaian cerita tanpa sekadar
tempel-tempelan belaka.
Daya
tarik tersendiri dari film ini adalah penggunaan bahasa Jawa dalam komunikasi
linguistik antar tokoh. Di samping mengedepankan dalih menghidupkan nuansa Kota
Malang, penggunaan bahasa Jawa di sini merefleksikan pemaknaan keakraban antar
warga yang hidup dalam satu lingkungan. Tak pelak apresiasi langsung dari Bapak
Muhadjir Effendy yang mengapresiasi kontribusi film ini lantaran menjunjung
tinggi harkat salah satu bahasa Ibu di tengah jamaknya bahasa daerah di negeri
ini. Masyarakat juga sudah sewajarnya menyambut film ini dengan meriah, betapa
banyak modal sosial dalam kebinekaannya sesungguhnya mampu menjadi resep
kesuksesan sebuah produk kreatif. Film Yowis
Ben baru merepresentasikan satu kearifan lokal, sementara deretan kultur
negeri yang lain telah mengantre untuk siap dieksekusi.
Elemen
berbau primordial memang menarik untuk diperbincangkan tetapi tetap
mempertimbangkan asas keseteraan dan utamanya dalam menjauhi aksi diskriminasi.
Perbedaan dalam tatanan masyarakat Indonesia merupakan keniscayaan, seharusnya
film yang aktif memperkenalkan wajah masyarakat yang berbineka ini terus
mendapat sokongan baik materi maupun non-materi. Sekurang-kurangnya dukungan
dengan berpartisipasi menyaksikan film ini dalam pertunjukan bioskop telah
membuktikan memberikan perhatian yang menjanjikan dalam memajukan dunia
perfilman nasional. Jika Bayu Skak berani mengambil andil sebagai pionir dalam
memperkenalkan replika keseharian masyarakat Jawa khususnya Malang dengan
mengangkat berbagai ciri yang amat kental ke permukaan, konsekuensi paling adil
yang diperoleh adalah terbitnya Bayu Skak-Bayu Skak lain yang siap menenteng
gagasan akan produk kebudayaan yang merefleksikan masyarakat dari kebudayaan
berbeda.
Perkembangan
film nasional sejujurnya telah merekam banyak potret masyarakat dari ujung Barat
sampai penghujung Timur. Dari Hafalan
Shalat Delisa, Keumala, Tjoet Nya Dhien dari Ranah Rencong sampai Denias, Di Timur Matahari, ataupun Lost in Papua di Tanah Cendrawasih telah
menggenjot pamor keragaman nusantara yang sarat problematika. Terkhusus bagi
kultur Jawa, tidak menampik bila berbagai elemen yang akrab di masyarakat
berdarah Jawa menjadi komoditas cerita yang ramai dipergunakan dalam film-film
nasional.
Bahkan
penulis sempat terhenyak menyaksikan kebanyakan film dari luar jaringan bioskop
hampir rutin menggunakan dialek Jawa atau setidaknya memunculkan porsi karakter
yang berstatus keturunan Jawa. Fenomena ini sebenarnya lumrah dijumpai apabila
alasan yang mendasari hal ini ialah aktivitas produksi film lebih gencar
dilaksanakan di Pulau Jawa ketimbang
penduduk yang bermukim di kepulauan lain di Indonesia. Tercampurnya atau
sengaja dirancang berbagai identitas dan ciri khas masyarakat Jawa menjadi
akibat yang pasti bila kebanyakan para pembuat film memang dibesarkan,
berkecimpung, dan bertautan pada kontekstual masyarakat Jawa sendiri. Dari
penalaran subjektif, mungkin saja kehadiran realitas yang dibingkai dengan
pendekatan kultur Jawa tidak bermaksud hendak pamer, namun menguji kejujuran
sang pembuat film ketika berupaya membuka diri sekaligus mempersembahkan
realitas sejujurnya dari potret kehidupannya sendiri. Dan fenomena ini bukan
kenyataan yang patut dipersoalkan.
Kembali
lagi pada film Yowis Ben, berangkat
dari kehidupan sederhana seorang Bayu yang dilabeli pecel boy karena setiap hari membantu Ibu kandungnya berdagang nasi
pecel di sekolah. Obsesi Bayu untuk dapat menaikkan derajat popularitasnya
menjadi pemancing timbulnya dinamika permasalahan hingga akhir cerita. Dalam
perjalanannya, berbagai tokoh baru dilibatkan dalam menyalurkan aspirasi musik ngeband-nya. Berbagai sentuhan cinta ABG
di sekolah menengah atas menjadi sandaran paling mumpuni menegakkan rancang
bangun cerita Yowis Ben.
Banyak
bagian yang menguakkan tanda tanya sekaligus ruang ideal untuk perenungan. Di
tengah geliat memperjuangkan banyak pendekatan ciamik untuk menjala penonton
anak muda, komedi yang ditawarkan tidak serta-merta bersifat olok-olokkan atau
nyaris over dosis dalam menghakimi pihak tertentu. Tetapi lihat bagaimana
pendekatan dalam menanam nilai moral turut disisip dalam penggambaran tata
krama berkomunikasi dengan orang lebih tua. Bayu Skak rasanya hendak memberikan
nilai plus sendiri dalam memproyeksikan cerita gubahannya agar tidak saja
memberikan hiburan mengocok perut tetapi lincah bersilat-lidah dengan keadaan
yang potensial dalam memperkaya referensi penonton. Sebut saja imbauan yang
dikemas ringan dengan berusaha tidak menggurui dalam hal mengucapkan salam yang
benar, berterima kasih kepada orang tua, tidak pamrih menolong keluarga, dan
sebagainya. Lalu kesederhanaan dalam menikmati perjalanan hidup menjadi amanat
terpenting dalam film ini di mana tergambar label pecel boy dan ketenaran personil Yowis Ben di tingkat regional Malang bukan dua hal yang saling sikut-menyikut atau menghalangi.
Sajian
adegan dalam Yowis Ben rasanya ringan
untuk diikuti tanpa harus berpikir keras. Nuansa anak muda yang ditampilkan
rasanya pas untuk membidik target penonton remaja. Tetapi sekali lagi,
identitas menjadi rumus utama dalam film ini. Kekuatan paling ampuh yang
menjadikan Yowis Ben berbeda dari
film-film komedi kebanyakan. Tidak terbayangkan kalau Yowis Ben menggunakan dialek bahasa lain di luar Jawa, mungkin
konstruksi ceritanya akan lemah ataupun kelihatan seperti cerita biasa tanpa
kesan. Dalam melihat ini pula, penulis sempat bertanya-tanya, “Bagaimana
jadinya seandainya Bayu Skak melahirkan film yang tidak bernuansa Jawa?”
Sekilas ia akan kehilangan jati diri, terampas karakteristik yang menjadi
andalan personifikasinya, bahkan membuyarkan penggemarnya yang selama ini
menanti karya-karyanya yang kental dengan unsur Jawa.
Menapaktilasi
dengan mundur ke beberapa rekam jejak film nasional sebelumnya, terjunnya para
komika—pelawak stand up comedy—dalam
jagat perfilman Indonesia selalu menggunakan parasut andalan bernama identitas.
Hal ini yang membantu mereka melebarkan sayap dalam setiap senti progresivitas
sebuah film sehingga membantu mereka mendarat pada ranah yang ideal untuk
mengembangkan cerita. Kekuatan para komika berasal dari ciri khas yang dibentuk,
lalu tumbuh-kembangnya dipelihara sedemikian cermat agar memunculkan kekhasan
tersendiri sehingga bertransformasi menjadi magnet pemikat penonton. Sebut saja
Ernest Prakasa dengan Ngenest (2015),
Cek Toko Sebelah (2016), dan Susah Sinyal (2017) yang setia di
koridor sebagai individu berdarah Tionghoa ataupun Kemal Palevi yang
diidentikkan dengan sosok keturunan Arab dalam beberapa film seperti Youtubers (2015), Comic 8 (2014), dan lain-lain.
Beberapa
bagian menarik yang layak diulas ialah pergerakan kamera dalam film ini.
Beberapa zoom in dan zomm out yang dominan di beberapa adegan
terasa berusaha membantu memberi penekanan tensi komedi. Rasanya di kebanyakan
film komedi, pergerakan kamera yang dinamis tidak menjadi bagian yang harus
dirungsikan. Selain menambah efek komedi juga berharap lebih luwes dalam
bercerita.
Sebagaimana
mengedepankan judul Yowis Ben dengan
tambahan tanpa huruf D juga
mengarahkan film ini ke arah cerita jatuh-bangun para awak grup band. Jangan
heran apabila berbagai lagu didendangkan dengan bahasa Jawa yang totalitas.
Kekentalan unsur Jawa memang membuat film ini juara di hati penonton.
Mengakhiri
narasi apresiasi film Yowis Ben ini,
mari kita angkat topi terhadap keberanian Bayu Skak mengorbit film ini hingga
beredar di banyak layar. Ia berani melawan stigma yang semula menyerang film
ini dengan bulan-bulanan bahwa film berbahasa Jawa hanya menjadi film untuk
pembantu-pembantu rumah tangga atau pekerja kasar yang digambarkan udik. Tetapi
kenyataannya, Yowis Ben dengan
pesonanya mampu menyapa penonton dengan komedi segar yang berbeda dengan
penyematan banyak nilai-nilai moral dan pranata sopan-santun yang penting mendapat pujian. Film ini direkomendasikan
untuk kawula muda yang gemar band ataupun di luar pecinta musik. Tetapi di samping
itu, Yowis Ben mengangkasakan spirit
warna kearifan masyarakat Jawa dalam wajah sinema kita. (GN-©MTH)





Komentar
Posting Komentar