FILM 212 THE POWER OF LOVE: PAWAI AMBISI
G E B Y A R F I L M
I N D O N E S I A
212
THE POWER OF LOVE:
PAWAI
AMBISI
Oleh
Moch.Taufik Hidayatullah
No. 50 / MINGGU 2 – 15 April
– 21 April / Gebyar Film Indonesia
Peristiwa fenomenal kerap kali disuguhkan ulang dalam
rekaan ruang sinema. Tercatat sejumlah film Indonesia memakai formula ini
dengan mengandalkan slogan “inspired by
true event”, misalnya, film Untuk
Angeline (2017) yang berpijak dari kasus tewasnya bocah asal Bali oleh
orang tua angkatnya yang menjadi sorotan publik tahun lalu. Lalu beberapa judul
film yang sempat santer hendak menuju meja produksi dari kejadian yang sempat
menjadi buah bibir ialah Eyang Subur Main
Film. Tetapi hingga saat ini belum ada kejelasan lebih lanjut mengenai
pembuatan film ini ke publik. Film yang berbekal dari fenomena yang laris
diberitakan pers terkadang dipercaya mampu menjala banyak penonton. Terbukti di
tahun ini, film yang mengemas ulang sebuah aksi besar-besaran dua tahun silam
siap tayang di seluruh bioskop Tanah Air.
Film sebangsa ini kerap mengawinsilangkan berbagai imaji
dengan sekardus lembaran berita atau berarsip-arsip data guna membuat penonton
terpikat sebagaimana kenyataannya. Berkelindan dalam banyak pertimbangan dan
timang-timang keputusan panjang, Aksi Bela Islam III yang dikenal sebagai Aksi
212 tersebut diangkat ke layar lebar melalui rumah produksi Warna Pictures pada
Mei 2018 ini. Apabila mengulas konten teknis dalam film ini, penulis sepakat
bahwa kolaborasi banyak adegan yang dibidik dari peristiwa asli yang barangkali
telah direncanakan atau dimintai dari berbagai sumber sangat memperkuat bahwa
film ini diluncurkan setelah melalui rembukan panjang untuk memberikan
batas-batas mengenai poin-poin apa saja yang aman dibicarakan sepanjang film.
Sejak awal film ini bergulir, penonton dituntun untuk
menyaksikan sebuah kemelut yang mendera masyarakat sebangsa setanah air terkait
tindakan salah seorang pejabat publik yang ditengarai telah melakukan penistaan
agama. Ajaibnya, meskipun film ini panjang lebar membahas rangkaian aksi yang
luar biasa digambarkan, tetapi entah kenapa memilih menyembunyikan juru kunci
dari penyebab aksi ini dapat terjadi. Tidak seorang pun mampu menangkap, siapa
gerangan nama pejabat publik bersangkutan yang tertuduh oleh masyarakat Muslim
akibat ulahnya. Penulis berlirih dalam hati, barangkali film ini tidak
berkeinginan merusak kondusifitas kondisi dan juga selaras dengan niat awal
para pembuat film yang tidak bermaksud menggerakkan suatu opini bahwa karya ini
merupakan instrumen politis.
Mengangkat benang merah konflik yang memperselisihkan
ideologi—pola pikir yang konotasinya disebut berulang-ulang sepanjang film—dua
lelaki antara seorang Ayah yang notabene pemuka agama di Kampungnya dan
putranya yang mengaku penganut marxisme dengan embel-embel jebolan Harvard
University. Pastinya sikap skeptis yang berlebih menjadi jurang mengaga lebar
yang sukar mempertemuka sudut pandang keduanya. Perdebatan terkait bagaimana
memposisikan diri terhadap kasus penistaan agama yang di sini menyerang konteks
keluhuran kitab suci menjadikan dialog dengan argumentasi ‘menggendut’ tentang
politik dan keyakinan.
Rentetan adegan sekujur film ini membuat suatu penilaian
dalam pikiran penulis bahwa aksi 212 digambarkan lebih mirip pawai yang serba
meriah dengan atraksi sosialnya atau permainan mendudukkan konflik berebut
ambisi tertentu dari banyak pihak. Kekhawatiran pembiasan
esensi dari aksi 212 pastinya menjadi beban bagi para pembuat film di saat
banyak masyarakat yang takut film ini menggambarkan kontekstual aksi yang
keliru. Dan hal tersebut berkorelasi pada penilaian penulis di mana aksi 212
diceritakan sebagai aksi yang tak mulus berjalan begitu saja melainkan harus
menghadapi sekelumit hambatan dari banyak kalangan. Bila melihat realitanya,
berbagai simpang-siur opini melingkupi berjalannya Aksi Bela Islam 212.
Sebagian pihak menuding aksi ini merupakan gerakan yang didorong gerakan
politik, didompleng agenda kepentingan kelompok tertentu, dikaitkan dengan
konteks pilkada Jakarta, dituduh sebagai gerakan berskala besar yang hendak
mengulangi kerusuhan Mei 1998 yang kemudian dihakimi sebagai aksi makar, dan
sebagainya. Tetapi dari seratus persen peserta aksi yang menyempatkan berkumpul
di Monas kala itu, memang benar ada orang-orang yang tulus ikut protes 212 yang
berpendapat aksi ini sebagai gerakan dakwah seraya menyangkal hubungan antara
Aksi Bela Islam dan Pilgub Jakarta 2017. Dan film ini bijaknya tidak sekadar
menampilkan hal serba ‘lurus’ dari para pesertanya melainkan gejolak
pihak-pihak sekitarnya yang mengalokasikan ambisi terselubung yang menunggangi
aksi massal ini untuk dibawa ke arah ranah tertentu.
Melabuhkan berbagai argumentasi sarat perdebatan terpaksa
membuat film ini menghadirkan banyak tokoh yang mewakili cara pandang
berbeda-beda. Tersebutlah beberapa tokoh seperti seorang jurnalis non-Muslim
yang digambarkan menyadari bahwa aksi ini tak semata pendomplengan politik,
santriwan yang menjadikan agama adalah harga mati dan pembelaannya sebagai
kewajiban, jurnalis urak-urakan terlihat sangat pro duniawi tetapi punya metode
menalar yang analitis bahkan soleh, dan sebagainya. Segala percabangan cerita
akhirnya bermuara pada Aksi Bela Islam 212 yang menunjukkan sebuah aksi akbar
yang segalanya terjadi didasari kecintaan pada keimanan.
Lima puluh persen film ini mendeskripsikan betapa
sakralnya aksi ini yang diliputi perbuatan cinta damai. Kawasan
Monas dilingkupi jutaan manusia yang hadir dari berbagai penjuru. Ketika kamera
udara mengambang nyaris mencapai puncak api sang monumen, tampaklah jantung
Ibukota bagai diselubungi kain ihram jamaah haji serba putih. Jutaan manusia
berhimpun tanpa imbauan, datang dengan kesadaran membawa undangan tak kasat
mata yang memanggil dari lubuk hati atas nama kecintaan pada kitab sucinya.
Berbagai poster dan panji bagai meninju-ninju udara bersama gelora semangat
menyuarakan pesan perdamaian yang membahana.
Kilasan kenangan itu yang masih lekat dalam alumni aksi 212 yang
berharap dapat bernostalgia kembali lewat film ini.
Terlepas
dari ketidaksempurnaan yang mengiringi berjalannya aksi, kekuatan yang membuat
orang-orang ini bersatu di Monas ialah dipantik oleh semangat kecintaan pada
agama. Yang dalam kelanjutannya, pesan damai terus dielu-elukan agar masyarakat
Indonesia yang sarat perbedaan latar belakang sosial tetap mampu saling
bergandeng tangan menjaga kerukunan. Kerukunan begitu ditonjolkan dalam aksi
tersebut yang menurut penulis, pada salah satu cerita begitu menyentuh hati.
Kendati peserta aksi sampai memblokade ruas-ruas jalan sekitar Masjid Istiqlal
dan Gereja Katedral, mereka bersama-sama mengawal dan membantu rombongan
pengantin yang hendak diarah menuju gereja.
Secara
lugas film ini pro dengan pihak yang mengatasnamakan partisipasinya semata
untuk pembelaan agama. Berbagai implementasi serba baik ditonjolkan seperti
saling bergotong royong menyebarkan konsumsi makanan, membersihkan kawasan
monas dan ruas jalan yang dipakai aksi sampai adegan membantu mengawal
rombongan pengantin nasrani menuju gereja katedral. Semua digambarkan sebagai
humanisme yang terjaga berkat mematuhi rambu-rambu syariat Islam. Film ini
melambangkan Islam yang sangat damai dan mencintai. Ketika beberapa pihak
digambarkan barbar karena belum mengenal Islam lebih dalam, pembuat film dengan
andal menyusupkan peran mediator untuk lekas mencairkan situasi.
Film ini harus diakui unggul dalam tata kamera yang
variatif dan memanjakan namun lemah dalam kekuatan musik. Alunan latar musik
tidak terlalu kuat mempertajam sensitifitas perasaan penonton pada banyak
adegan. Dalam pandangan penulis, beberapa bagian terasa tidak relevan dengan
adegan yang muncul di layar. Dan yang paling tidak
membuat nyaman ialah lafal dialog tokoh-tokohnya—yang entah sengaja dikonsep
demikian atau tidak—terasa seperti robot berbicara alias kualitas dubbing yang kurang maksimal. Padahal
bunyi dialog dari naskah skenarionya sangat berbobot dan mengandung kuantitas
yang bagus untuk membincangkan konteks seperti politik, teologi, sosial, sampai
unsur romantismenya. Meskipun penulis memaklumi redaksi kata-kata para tokoh mungkin
terlalu berat bagi beberapa orang.
Mengakhiri
narasi apresiasi film 212 The Power of
Love, spirit yang diusung adalah menunjukkan wajah Islam yang ramah bukan
marah. Kehormatan adalah harga mati yang patut diperjuangkan bahwa kedamaian
tak semudah itu diperjuangkan bila tidak ada rasa tenggang rasa dalam
masyarakat multiidentitas. Persaingan kepentingan terkadang mengaburkan hakikat
tujuan para simpatisan yang kala itu diperkirakan sampai tujuh juta orang itu.
Walau tidak dapat menampik segala sesuatu mustahil sebagai sesuatu yang selalu
sempurna tanpa cela. Tetapi film ini dengan indah menampilkan pergelutan batin
anak dan ayah yang sarat kontemplatif menyikapi tantangan pemikiran seputar
keyakinan dan idealisme. Dan aksi fenomenal ini diperkenalkan sebagai riwayat
sejarah hebat umat Islam Indonesia yang di dalamnya terakumulasilah sejumlah
silat lidah dalam pusaran konteks ‘pawai ambisi’. (GN-©MTH)





Komentar
Posting Komentar