FILM ASSALAMMUALAIKUM CALON IMAM: SINEMA DENGAN SENTUHAN LAYAR KACA




G E B Y A R    F I L M   I N D O N E S I A
ASSALAMMUALAIKUM CALON IMAM:
SINEMA DENGAN
SENTUHAN LAYAR KACA
Oleh Moch.Taufik Hidayatullah
No. 51 / MINGGU 3 – 22 April – 28 April / Gebyar Film Indonesia

            Berbondong-bondong para produser film berbelanja ke toko buku, berselancar di dunia maya dalam aplikasi whattpad dan sebagainya untuk mencari bahan cerita yang laris difilmkan. Ketika musim film nasional memamerkan keberhasilan novel-novel dari whattpad laku ketika dikonversi ke layar lebar, mencuatlah sejumlah judul yang diadaptasi dari novel-novel karangan yang semula bertengger di laman whattpad.
            Film Assalammuaikum Calon Imam (2018) menjadi sasaran empuk analisis penonton ketika popularitas novel dari whattpad yang digembar-gemborkan telah dibaca jutaan orang di dunia maya. Ira Madani selaku penulis novel tampaknya telah memasrahkan diri bukunya diaduk-aduk para penulis skenario. Ketika film ini rilis di bioskop, tidak ada yang semula membuat penulis tertarik dan memutuskan untuk membeli tiket bioskop selain melihat poster filmnya yang cerah dan mempesona berkat biru muda bergandeng dengan merah muda atau pink. Selebihnya penulis berserah diri bagaimana cerita ini mampu membuat bangku bioskop tetap hangat saya duduki sampai credit tittle muncul. Pun materi official trailer-nya tidak terlampau memikat.
            Harus diakui bahwa membuat sebuah film bagus tidak mudah. Setiap jerih payah para insan perfilman harus mendapat perlakuan penghargaan yang pantas atap setiap karya-karyanya. Tetapi bukan berarti membendung penilaian dari masyarakat yang memutuskan untuk menonton film-film dalam negeri. Waktu itu penulis keluar dari studio, membawa kegaduhan dalam kepala yang mengomel sendiri tentang keseluruhan film ini. Film Assalammualaikum Calon Imam membuat saya meringis sendiri setelah disiksa oleh suguhan yang tidak niat untuk kapasitas sebuah film bioskop.
            Entah kenapa penulis menemukan sebuah kebetulan di mana genre drama religi memiliki pasarnya sendiri. Penulis beranggapan setiap sutradara Indonesia berusaha memberi sentuhan beragam dalam setiap film-film produksinya, tak ketinggalan Findo Purwono HW selaku kapten dari film in. Jika membuka daftar portofolio filmografinya, tak heran rasanya kalau dirinya tak menolak didapuk sebagai sutradara film ini. Dan apabila boleh menebak,  dirinya mau menerima cerita film ini agar karya-karya filmnya beraneka macam genre termasuk tak ketinggalan memproduksi drama Islami.
            Konten film yang garis besarnya menyebarkan virus baper di kawula muda ini sebenarnya mencoba melihat garis-garis takdir manusia yang serba cengeng. Penulis bingung menyaksikan tokoh utama wanita yang rutin menangis dalam berbagai keadaan sehingga film ini betul-betul dikonstruksi memakai pakem sinetron. Ketangguhan wanita dicederai oleh berbagai sikap yang tak dewasa sehingga penonton ditugaskan untuk menguras air mata dari awal hingga akhir film. Lalu ketika bergeser memperhatikan konteks ucapan salam sepanjang film ini, rasanya terlalu memaksakan atau sebatas menunjukkan bahwa judul film yang menempatkata kata ‘assalammualaikum’ memiliki nyawanya dalam film ini. Menghindari serangan kritik bahwa judulnya sekadar tempelan ataupun dimaksudkan menciptakan nuansa Islami bagi kemasan filmnya.
            Sayang film layar lebar dengan judul Islami begini dikenakan sentuhan layar kaca khas plot yang miris. Arah penceritaannya abu-abu di mana penonton hanya disuapi oleh adegan-adegan serba kebetulan yang mencocokkan peran berbagai orang yang dimuat dalam film ini. Penulis menilai inilah film televisi yang harus ditonton dalam gedung pertunjukan. Getir-getir nuansa sinetron atau FTV begitu kental selama menonton Assalammulaikum Calon Imam. Meskipun sudah kalah dalam hal teknis meliputi penataan kamera yang sangat tidak istimewa, transisi sembarangan tempat, penempatan musik original soundtrack yang tak terlalu mengguncang perasaan haru biru, dan kostum pemain-pemainnya yang tertangkap basah tidak disetrika. Yang paling menganggu ialah kerudung Fisya (Natasha Rizky) yang berkedut dan penulis menggugat, “Ke mana sih orang wardrobe-nya?” Tetapi kelebihan teknis yang membantu membuat layar film ini tidak norak ialah lokasi yang artistik dan pemilihan tempat yang megah namun minimalis.
            Mengakhiri narasi apresiasi film Assalammualaikum Calon Imam, para pembuat film yang menggubah sebuah cerita drama religi selalu berpikiran bahwa tidak ada bingkai cerita paling apik selain pergumulan kisah cinta lawan jenis. Unsur-unsur agama dicomot dalam berbagai dialog ataupun kutipan ayat suci maupun hadist di akhir film. Pekerjaan rumah para pembuat film religi ialah bagaimana mengatapi dunia cerita dari sebuah film bernafas religi tetapi tidak hanya mengomposisikan pesan-pesan dakwahnya sebagai kutipan-kutipan semata melainkan membaur dalam aspek-aspek lain pendukung ceritanya. Film Islami tak sekadar soal aktrisnya yang berkerudung, mengucap salam, adegan shalat dan berdoa, dan ditutup pesan moral secara verbal. Segala elemen tersebut seharusnya padu dalam kelindan jalinan cerita sehingga tak terkesan bak tambalan-tambalan yang sifatnya komplementer. Apabila konteks ini dikekalkan untuk masa depan cerita film-film religi ke depan, maka jangan risau saat menjumpai sinema drama religi yang kembar identik dengan sinetron atau FTV di layar kaca. (GN-©MTH)

Komentar

Postingan Populer