FILM KEMBANG KANTIL: KUDAPAN KANTIL, SENTIL, DAN LABIL



G E B Y A R    F I L M   I N D O N E S I A
KEMBANG KANTIL:
KUDAPAN KANTIL,
SENTIL, DAN LABIL
Oleh Moch.Taufik Hidayatullah
No. 52 / MINGGU 4 – 29 April – 05 Mei / Gebyar Film Indonesia


            Seorang anak perempuan yang gemar memakan kudapan kembang kantil, memetiknya langsung dari batangnya dan bermuram durja di bangku halaman panti asuhan. Dalam perjalanannya, sang anak diadopsi sebuah keluarga yang konon belakangan diketahui pengikut sebuah sekte penyembah iblis merah. Dan jalinan cerita film ini seutuhnya memperkuat keberadaan magisnya bunga kantil lewat penggambaran adegan membeli paket sekeranjang bunga kantil oleh pemilik toko bunga, pelengkap sesembahan dalam kamar rahasia, sampai pemesanan puspa wangi ini untuk kelengkapan rumah. Film Kembang Kantil (2018) tampaknya menguraikan satu per satu cerita tokohnya yang kebingungan sehingga labil dalam bercerita tentang satu hal spesifik.
            Di tangan Ubay Fox sang sutradara, film ini membawa ketegangan yang dibangun perlahan-lahan. Penulis memuji pembangunan tensi dramatik dan horor secara berkala dari awal film hingga selesai. Semua ditata sedemikian rapi dengan perumpamaan film ini sebagai olah kebugaran jasmani yang mempunyai rangkaian dibuka dengan pemanasan, gerakan inti hingga pendinginan. Tetapi ketika pujian itu dialamatkan pada penempatan yang runtut, penulis menyimpan beberapa catatan yang membuat Kembang Kantil tidak nyaman untuk dikenang sebagai film horor yang berkesan. Sekadar masih setia memakai konvensi generik film horor yang mencirikan sebuah film dengan music scoring menegangkan, sudut rumah dan lorong sepi yang diisi hantu unjuk diri, dan dilibas lewat pesan klasik di mana kebajikan selalu menang melawan kejahatan.
            Cerita Kembang Kantil terasa sengaja dibuat berbelit dengan menyisipkan berbagai praduga agar penonton aktif menerka-nerka. Banyak pihak yang tidak terang-terangan dipaparkan siapa gerangan identitas dan keperluannya namun pada akhirnya ditutup dengan penyelesaian yang tak sekompleks bukaan konfliknya. Beberapa tokoh terabaikan dengan cara diakhiri melalui adegan pembunuhan. Padahal penulis merasa ketidakjelasan hendak dibawa ke mana alur cerita ini membuat bagian pertengahan film bertele-tele dan melupakan penceritaan utama yang lebih penting. Bahkan cerita yang dikembangkan terlampau hiper dalam ketidaktelitian memberikan eksplanasi pada sejumlah bagian.
            Banyak bagian yang ringsek tuturnya seperti tidak dijelaskannya latar belakang pasutri Anton-Santi yang memutuskan mengangkat anak di panti asuhan, kemunculan sekte pemuja setan yang mendadak dihadirkan menjelang adegan pamungkas, pekerjaan Anton yang entah apa namanya cuma digambarkan berbaju necis dan mondar-mandir di sekitar rumah, kematian di rumah megahnya Anton yang setali tiga uang sengaja dibuat mati biar tambah mengerikan, dan sebagainya. Adegan demi adegan yang disajikan tidak terjalin rapi dan meninggalkan bekas banyak lubang yang makin ditambal justru makin rapuh.
            Poin penting dalam film Kembang Kantil yang patut dikaji ialah bahwa film ini tak jualan unsur esek-esek yang juga sebenarnya mulai langka dalam horor Indonesia kekinian. Mengikuti tuntutan pasar di mana masyarakat Indonesia mulai meninggalkan tradisi tontonan yang mengumbar bodi seksi perempuan dan adegan-adegan panas dengan selingan dedemit hilir-mudik. Gejala ini sejatinya penanda yang progresif dalam menciptakan dunia baru kualitas film hoor dalam negeri yang bersaing. Tetapi sayangnya di tengah kebangkitan mutu film-film horor dalam negeri, Kembang Kantil tidak mengimbangi gelombang trend itu sehingga mencoreng lagi nama baik genre horor Indonesia. Hal ini tak semata karena berkaca pada lemahnya cerita garapan rumah produksi Dee Company dan MD Pictures ini, namun kolaborasi antara eksekusi ide yang kelewat mentah, kualitas akting yang compang-camping tidak solid, serta logika dalam semesta fim yang berantakan.
            Lagu Cicak di Dinding rasanya dipakai sebagai senandung yang menambah seram saja. Walaupun pada dasarnya lagu ini hanya lagu anak-anak biasa yang jauh dari unsur makhluk ghaib. Tetapi film Kembang Kantil berkompromi dengan lagu ini dalam rangka menyentil hal-hal ghaib agar mudah diundang datang dan sekaligus membasminya pergi. Penampakan hantu dalam film Kembang Kantil tak terlalu ekstrem dengan riasan menyeramkan tetapi cukup membuat kaget dalam banyak keadaan.
            Mengakhiri narasi apresiasi film Kembang Kantil, hal paling memukau dari seluruh film ini adalah kelihaian pengambilan gambar dari ruang-ruang udara yang mempesona. Pilihan sudut yang atraktif membuat gambar sepanjang film ini kaya walau tak menandingi bobroknya cerita yang miskin konteks. Film Kembang Kantil seolah kebingungan sendiri hendak bercerita tentang apa selain menjual nama tumbuh-tumbuhan yang dimistiskan. Kembang Kantil hanya meminta penonton tersentil oleh fungsi bunga kantil yang dipakai untuk mengupas sudut pandang paguyuban sekte pemuja Iblis. Tetapi daya tahan pilar penyokong tegaknya cerita bahkan sangat lapuk dan membuatnya tumbang lebih awal sebelum narasi film berakhir. (GN-©MTH)
             

Komentar

Postingan Populer