FILM SAJEN: HANTU POP DALAM KONTESTASI BULLYING

G E B Y A R F I L M
I N D O N E S I A
SAJEN:
HANTU
POP
DALAM
KONTESTASI
BULLYING
Oleh
Moch.Taufik Hidayatullah
No. 49 / MINGGU I - 08
April-14 April / Gebyar Film Indonesia
Menyemarakkan produksi film horor dalam industri
perfilman Tanah Air, pada akhirnya membuat Starvision tergerak dan merasa perlu
untuk memproduksi sebuah film sejenis. Meski berselang beberapa bulan setelah
denyut atensi penonton film Indonesia terhadap genre horo menyusut, Sajen (2018) tampil dengan wajah sangat
pop sebagai penutur cerita yang berkutat kasus bullying dalam lembaga pendidikan dengan nuansa mistis. Dengan
bertabur bintang-bintang muda, horor ala Sajen
akan menggali banyak sisi pergaulan kawula muda dan gemerlap godaan
duniawinya.
Film ini dibuka dengan adegan penjaga sekolah yang
berkeliling sudut sekolah menyebarkan nampan ataupun baki berisi sajen di pagi
buta. Bila mengikuti alur cerita Sajen secara
total, terdapat empat tempat yang seakan memiliki kesaksian tersendiri dalam
merepresentasikan korban pelajar yang bunuh diri di sekolah yakni loker
perpustakaan, toilet wanita, labor komputer, dan dipuncaki oleh tewasnya sang
tokoh utama di lift. Dan benang merah judul Sajen
barangkali dipertegas dengan rangkaian pengadeganan tersebut meskipun kalau
diperhatikan secara seksama, judul ini tidak terlalu kuat bagi konstruksi
konflik para ABG yang terjerat dalam jaring-jaring bulan-bulanan bullying oleh teman-temannya sendiri.
Membedah pesan implisit dalam film yang disutradarai
Hanny R. Saputra ini ialah mengkritik pola pendidikan khususnya jenjang
menengah pertama hingga atas yang selalu luput dalam memantau motif tindakan bullying para peserta didik. Sejumlah
tragedi mengerikan yang membuat sekolah dalam film ini menjelma tempat angker
sarangnya para arwah tidak tenang adalah konsekuensi yang timbul akibat
lalainya pengusutan berbagai rupa aktivitas perpeloncoan yang fatal. Frustasi
yang mencapai klimaks membuat para murid untuk mengakhiri hidup dengan berbagai
cara mengenaskan. Sekalipun dikemas dalam situasi horor, agenda mengampanyekan Stop Bullying! Di kalangan remaja sangat
atraktif.
Tetapi selama menyaksikan cerita film ini bergulir,
penulis merasakan beberapa kejanggalan yang mendesak saya membuat beberapa
catatan kaki. Di antaranya ialah tidak strategisnya peran penjaga sekolah—yang
amat digambarkan sangat konvensional melalui pakaian khas Sunda—dicitrakan
sebagai sosok misterius yang diduga sejak awal bakal menjadi juru kunci dari
segala problematika yang terjadi. Tapi kenyataanya porsi lelaki ini tak lain
hanyalah tokoh hiasan yang membantu para pembuat film mempertajam intensi atas
atmosfer sesajen dan mistis. Tidak berkaitan sama sekali andilnya dengan porsi
tokoh-tokoh film lainnya.
Lalu penulis menangkap kemiripan yang entah bagaimana
proses kreatifnya sehingga film Sajen secara
terang-terangan mengutip lirik lagu warga Jawa Barat bertajuk cing-ciripit yang sama persis dengan
film Indonesia yang tayang dalam momentum berdekatan. Hal ini lumayan mencuri
perhatian di mana lagu cing ciripit sebenarnya telah lebih awal dipakai dalam
film The Secret: Suster Ngesot Urban
Legend (2018) yang memasangkan duet artis Raffi Ahmad dan Nagita Slavina.
Waktu tayang film ini juga seminggu lebih cepat ketimbang film Sajen yang tayang pekan berikutnya.
Kalau menilik perkara siapa yang paling pantas memperebutkan hak atas lagu
tersebut bagi personifikasi film, memang tidak perlu berkilah panjang. Pun lagu
tersebut adalah produk masyarakat yang muncul dalam kultur penduduk lokal
sehingga tak dapat diklaim sebagai kepunyaan pihak tertentu. Tapi reaksi kaget
menjumpai kemiripan yang kebetulan ini tak dapat penulis hindari sembari
membatin, “Apakah tidak ada lagu anak dari permainan rakyat yang lain bisa dipakai?”
Lagu tokecang misalnya apabila hendak
mempertahankan nuansa Sunda meskipun film ini mengaku berlokasi di Bogor.
Sebenarnya fenomena khas ini menjadi menarik dikaji dalam
film horor nasional. Sudah lumrah apabila film horor Indonesia senantiasa mengandalkan
kidung-kidung tertentu yang dimaksudkan menanamkan kesan menyeramkan dan
mendebarkan. Misalnya lagu Cicak di Dinding dalam film Kembang Kantil (2018), Boneka Abdee dalam Danur I Can See Ghost (2016), lagu Nina Bobo dalam Oo Nina Bobo (2015), dan sebagainya.
Hal lain yang membuat penulis tak nyaman melihat
kebetulan-kebetulan yang ganjil dalam film ini ialah kemunculan hantu-hantu
yang terlalu ‘pop’. Penulis beralasan bahwa kehadiran hantu ini rasanya
menggebrak tradisi lama yang mungkin tidak zamannya lagi di mana hantu
ditampilkan dalam cermin, dari belakang pintu, pantulan air, dan sebagainya.
Film ini sangat pop dalam memutuskan cara hantu-hantunya bermunculan. Sebut
saja adegan hantu muncul dari panggilan masuk whatsaapp, mengejutkan dari dalam layar monitor komputer, dan
berbagai piranti teknologi lainnya. Penulis memandang ini terobosan yang unik
untuk membawa hantu lebih dinamis menghadapi zaman yang dibubuhi kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sehingga terlahirnya kesimpulan di mana para pembuat
film Indonesia mengajak hantu-hantu dalam film lebih luwes untuk tidak gagap
teknologi. Jenaka memang tapi demikianlah adanya.
Beberapa ketidaklogisan lain yang dipaksa dimuat dalam Sajen adalah menerbitkan rasa iba dan
empati yang tidak wajar. Penggambaran kehadiran hantu terlalu “show must go on” sehingga merusak
suasana haru di benak penonton. Hantu tokoh utama terlihat kasat mata sekali
seolah jasad badaniyahnya ditampakkan secara gamblang. Dan reaksi para peserta
pesta—kala itu konteksnya pesta prom
night sekolah—terlihat tidak terlalu takut menyambut kehadiran hantu itu
layaknya manusia atau mayat hidup. Barangkali pembuat film menyisipkan
bagaimana kasus diselesaikan secara simbolik, tetapi pemilihan penempatan
penggambaran sebangsa itu justru membuat penonton terkekeh karena musykil
dinalar akal sehat. Yang terkadang inilah menjadi biang keladi rubuhnya
bangunan cerita yang kuat dalam film horor kita karena semena-mena melinggis
rasionalitas sehingga sesuka kehendak menciptakan ketidakmungkinan yang
absolut. Lalu kemunculan hantu-hantu yang kompak seolah membuat mereka tengah
meringis meminta perhatian manusia yang masih hidup. Kalau memang hendak
diwujudkan demikian, alangkah lebih baik sejak awal diperlakukan demikian bagi hantu-hantu
lainnya.
Mengakhiri narasi apresiasi film Sajen, komitmen memberantas bullying
menjadi kiblat bagaimana penonton diminta untuk turut andil secara konkret.
Berbagai dampak mengerikan bullying yang
disinggung pula dalam adegan yakni mampu mengganggu fisik dan psikis seseorang
ini yang menjadi benih-benih tingkat anak muda bunuh diri semakin tinggi akibat
tekanan lingkungan sosialnya. Film ini baik dalam memetakan konsepsi bullying dan seluk-beluk penggambaran
lingkungan sekolah. Deskripsi artistik sangat bagus untuk menumbuhkan lanskap
sekolah menyambut ujian nasional dan hal-hal detil lainnya. Dari kapasitas
hiburan, film ini dapat dijadikan alternatif tontonan bagi remaja namun tetap
membutuhkan pendampingan. Film Sajen juga mengajak penontonnya hanyut dalam lara
korban bullying yang bertahan dalam
kontestasi bullying. Tetapi
perspektif pembuat film membawa wahana baru bagi para hantu korban bullying untuk menggugat melalui
cara-cara yang pop dalam kontekstual film horor Indonesia. (GN-©MTH)




Komentar
Posting Komentar