Tajuk Rencana: IMBAS TERNODANYA CITRA AGAMA
Penyerangan yang membawa embel-embel agama bukan lagi
cerita baru di tengah masyarakat Indonesia. Terkhusus untuk kasus peledakan di
Surabaya dan sejumlah rekam kasus teror selama ini, mayat martir diketahui
mengenakan busana yang merujuk pada ciri-ciri masyarakat Muslim seperti pakaian
gamis ataupun kerudung dan jubah. Alhasil atribut ke-Islaman senantiasa lekat
oleh stereotip orang-orang radikal. Didukung perolehan informasi yang berhasil
dihimpun Detasemen Khusus Antiteror 88, para pelaku tergabung dalam Kelompok
Jamaah Ansharud Daulah (JAD). Berbagai personifikasi yang merujuk pada konteks
agama Islam inilah yang menuai kecaman dari umat Islam sendiri yang selama ini
kerap tercoreng citranya akibat ulah oknum tidak bertanggung jawab ini.
Terlebih timbulnya kerisauan antar umat beragama yang sejatinya berakar dari
perbuatan teror ini.
Reaksi
publik begitu beraneka atas kejadian peledakan rumah ibadah ini. Sebagaimana
lazimnya, masyarakat selalu berteriak lebih vokal dalam memerangi tindakan
tidak berperikemanusiaan ini: mulai dari bersikap acuh tak acuh, mengklaim ini
sebagai bentuk pengalihan isu, menunjukkan aksi protes lewat aksi damai ataupun
demonstrasi dan sebagainya. Menarik benang merah dari segala reaksi tersebut
ialah hadirnya kecurigaan antar kubu-kubu berbeda identitas di tengah masyarakat
Indonesia yang jamak. Berkaitan dengan hal tersebut, tidak dapat menampik bahwa
oknum martir yang konon menyematkan berbagai ciri-ciri ataupun embel-embel
Islam mampu melahirkan konotasi negatif bagi kelompok agama bersangkutan.
Dengan
tidak menepuk rata melalui pemikiran dangkal, pepatah Indonesia yang berbunyi
“Dalam satu tandan pisang, takkan semua buahnya busuk” menjadi relevan bagi
bangsa ini sekarang. Islam yang ditunggangi oleh segelintir pihak bukan berarti
menjerumuskan sebuah pemikiran di mana moralitas penganut Islam dihakimi
sebagai konsepsi jihad yang keliru.
Rekan-rekan umat agama lain diimbau tidak terprovokasi dalam menilai buruk
wajah masyarakat Islam dengan semena-mena. Tidak bisa dihindari apabila kasus
ini berimbas pada citra agama Islam ikut ternoda, namun bukan berarti
menjustifikasi kelompok penganut Islam secara menyeluruh sebagai otak ancaman
bagi bangsa. Hal ini dipertegas mengingat bahwa kestabilan kondisi hanya bisa
dicapai apabila antar umat beragama saling berintegrasi dalam bersama-sama
berupaya tidak kebakaran jenggot.
Menghadapi
situasi rawan teror ini, masyarakat antar umat beragama diminta saling
mempertahankan kondusifitas agar terhindar dari kepanikan yang membabi-buta.
Apabila masyarakat ketakutan yang berlebihan maka membuat para komplotan
teroris ini bersorak bangga bahwa mereka berhasil menyebar ancaman. Memblokade
saluran distribusi informasi teror yang juga berpotensi hoaks membutuhkan
penanganan yang seirama. Sebab kekuatan utama dari gencarnya aktivitas
komplotan terorisme ini ialah publikasi. Masyarakat harus bersama-sama
menghentikan peredaran informasi yang sifatnya memancing ketakutan, kengerian
akibat sadisme, dan kabar burung mengandung berita teror yang membuat kalut.
Mempertimbangkan
gentingnya kondisi sosial yang rentan terpecah-belah, dialog terbuka antar
agama menjadi kebutuhan yang patut digelar dalam mendiskusikan berbagai
konsepsi religius yang tujuannya untuk memberi pencerahan. Berpijak dari kasus
teror ini, forum terbuka tampaknya alternatif yang mumpuni dalam meluruskan
konsepsi yang salah kaprah terkait elemen-elemen jihad dalam Islam. Imbas lain
dari hal ini ialah memberikan arahan yang orientatif agar masyarakat Islam
sendiri tidak mudah disusupi pemahaman yang tidak selaras dengan tuntunan
syariat dalam kitab suci dan ajaran Nabi.




Komentar
Posting Komentar