Mengelamkan Pesantren Secara Sinematik dalam Qorin: Percaturan Politik Gender dan Pesantren
Mengelamkan Pesantren Secara Sinematik dalam Qorin:
Percaturan Politik Gender dan
Pesantren
oleh MOCH. TAUFIK HIDAYATULLAH
Pesantren dan perempuan, sama-sama
diawali abjad “P”, lalu di tengah keduanya bersemayam konstelasi pemikiran
tentang “P” yang lain—dan sebenarnya mengerikan—di dalam ruang sosial:
pertarungan, percaturan, paradoks, dan politik. Dua konsep ini agaknya mendapat
momentum dan terasa karib dipercakapkan dalam perfilman Indonesia paling
kiwari, setidaknya melongok film-film yang digelinding di pasar film domestik
rentang tahun 2022 hingga 2023 yang dimeriahkan oleh percakapan-percakapan
mengenai dunia pesantren dan juga buana para puan. Sebut saja muncul inisiatif
sineas memboyong—sebagai konstruksi-konstruksi—lanskap masyarakat pesantren
tradisional ke layar lebar lewat dokumenter Pesantren
(2022). Memotret sebuah pesantren tradisional dengan dua ribu lebih jiwa santriwan
dan santriwati yang dipimpin ulama perempuan yang juga menjadi promotor dari
terbentuknya konferensi ulama perempuan Indonesia. Beralih dari genre
dokumenter, drama romantis arus utama teranyar juga menggaetkan perempuan ke
tataran kepemimpinan dalam Hati Suhita (2023).
Di antara beragam representasi paling impresif dalam bingkai diskursus
pemosisian perempuan dalam jagat pesantren ini adalah bagaimana seorang Nyai
muda Alina Suhita yang setiap kali wara-wiri selalu membuat orang-orang menghentikan langkah, berdiam,
lalu kontan memberi hormat dalam postur terbungkuk sedemikian dalam penuh takzim.
Pengalaman kultural yang direpresentasikan ini jarang muncul dalam film-film
Indonesia tentang pesantren—kalau bukan yang selama ini hanya kiai atau ustaz
saja yang diperlakukan demikian—di mana ini memutikkan makna penting dalam menilik
polah perempuan sebagai pemimpin dalam lembaga agama yang selama ini kadung
diglorifikasi sebagai wahana pelestarian tampuk kuasa bernuansa patriarkat.
Menggambarkan pesantren dalam nuansa
yang konstruktif tidak akan seriskan menggambarkan pesantren yang sarat
kedurjanaan, sebagaimana Qorin (2022)
menempuh jalannya sendiri. Berkebalikan dari dua film yang dinukil sebelumnya, Qorin menerabas arus utama dan
menghindar menghidangkan dramatisasi kemolekan citra pesantren. Dengan genre
horor, perempuan dan pesantren menjadi pembicaraan naratif dalam nuansa sarat
kegelapan serta praktik monsterisasi.Qorin
memilih ‘menghororkan’ pesantren dan ‘mengibliskan’ tokoh agamanya. Qorin memilih mengonstruk pesantren
sebagai sarang iblis—yang dipahami maksudnya—secara harfiah maupun sebagai
meta-narasi.
Sineas Qorin garda depan adalah para
puan yang memimpin di bangku sutradara, produser, hingga penulis skenario.
Mereka membantah bila film ini hanya menjajakan keseraman, tetapi sejatinya
menyuarakan sebentuk perjuangan dengan pesan yang pro-perempuan, mewakili suara
perjuangan, dan bernada feminis. Cerita Qorin
berakar dari kegeraman terhadap realitas merajalelanya kasus kekerasan
seksual yang dialami santriwati oleh ulah bejat guru hingga pengasuh pesantren
yang secara riil terjadi di dunia sosial masyarakat Indonesia. Pengakuan sineas
Qorin ini perlu direspon dengan
harapan, setidaknya kian diperkuat ketika bunyi rekognisi atas semangat
supremasi gender ini juga ‘dicuplik’ media tersohor dunia sekelas New York
Times yang menaruh atensi terhadap Qorin—setidaknya
sejak film produksi IDN Pictures ini dirilis ke OTT berbasis global Netflix.
Sebagaimana dilansir:
“Serving fear on a global scale, this month’s
picks include a French werewolf, an Indonesian possessor and a German man eater
[…] It’s a
treat to watch a possession film from a religious perspective other than
Christianity, especially one that takes a feminist approach to fighting demons
of both supernatural and earthly origin.” (Piepenburg, 2023).
Bagi masyarakat global, pesantren
sebagai fenomena kebudayaan masyarakat Muslim Indonesia dapat saja terlihat
sebagai isu yang ‘seksi’. Perempuan dan pesantren menjadi dua konsep yang akan
kompleks dalam bingkai sosiologis, dan akan semakin problematik bila
bermigrasi, meresap ke dalam relung-relung pikiran, olah rasa, dan mengkristal
sebagai visi kreatif selama proses kontemplasi. Hasil renungan itu kemudian
berekstraksi dengan imajinasi yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
gambar untuk ‘menghidupkan’ dua konsep “P” tadi—dan berenteng pernik “P”
lainnya. Berbagai perihal representasi dalam produk media hingga kebudayaan
populer terkait kehidupan perempuan dan fenomena ber-Islam di Indonesia menjadi
sesuatu yang ‘beda’ dan distingtif—jika tidak ingin disebut liyan di mata
Barat. Perempuan pesantren menjadi paket integral sebagai the other dari kenikmatan representasi dan naratif. Meminjam apa yang bell hooks sebut
dalam esainya Eating the other: Desire
and resistance bahwa eating the other
juga bermakna penaklukan, dibanding sekadar berpiknik melihat horor religi yang
berbeda dari kebiasaan sinema horor Barat. Namun, mendekonstruk Qorin kali ini, lebih dari sekadar mencicipi sensasi keberbedaan, tetapi juga
membaca gelagat ‘penaklukan’ dari mata seorang Indonesia—atau mata internal
dari fenomena di negeri sendiri dan bukan dari sudut pandang orang Barat atau
asing mana pun. Qorin pantas diberi
panggung atas agensi sineasnya membawa pesantren ke medan yang ‘kelam’
sekaligus mendekonstruk arsitektur sinematiknya yang bernuansa kelam.
Justifikasi ‘kelam’ yang penulis
layangkan terhadap mendiskusikan perempuan dan pesantren dalam Qorin ditarik dari teori metafora konseptual
dari pemikiran Trevor Whittock dalam “Metaphor
and Film”. Konsep ‘metafora konseptual’ dapat dipahami dengan turut
merunutkan pemahaman terkait ‘metafora kreatif’ dan membandingkannya. Metafora
kreatif merupakan pilihan-pilihan tertentu dalam menandai yang dilakukan secara
sadar oleh pembuatnya, dan berkontribusi memberikan warna maupun perspektif
tertentu dalam membicarakan fenomena lokal, semisal dalam seni naratif dapat
terlihat dari tokoh maupun jalinan peristiwa. Sedangkan metafora konseptual
merupakan sebentuk hasil dari konstruksi mental yang berdasarkan prinsip
analogi yang menggunakan atau mengonseptualisasikan suatu elemen terhadap
elemen yang lain atau yang disebut sebagai skema gambar (image schema). Mark Johnson dengan buah pikirannya “The body in the mind: The bodily basis of
meaning, imagination, and reason” mendefinisikan ‘skema gambar’ sebagai pola
yang dinamis—bisa berubah-ubah—yang mengoneksikan sejumlah besar pengalaman
yang bermacam-macam yang kemudian mewujudkan struktur berulang yang sama. Skema
gambar merujuk pada hal-hal yang dipakai sebagai analogi dalam metafora
konseptual, semisal, ‘kegelapan’ dijadikan metafora dalam menjelaskan konsep berkenaan
‘keburukan’, ‘kegentaran’, ‘kemunduran’, ‘kejahatan’, ‘kebiadaban’, dan
sebagainya.
Konseptualisasi ‘kelam’ dalam esai ini
mewakili dua hal: pertama, proyek film Qorin
yang dikemas ke dalam konvensi genre hingga bahasa gambar dan mise en scene serba kelam; kedua,
berkenaan pemaknaan atas isu yang disorot beserta eksekusi dialektis mengenai
eksistensi pesantren di ruang sosial—yang selama ini diungkap oleh kebanyakan
film serba baik dan ‘terang’ melulu dan jarang disetir ke nuansa genre maupun
premis narasi yang ‘gelap’. Secara spirit, ‘kekelaman’ mewakili sebuah
percakapan perempuan dan pesantren sebagai dua konsep dalam film bernuansa
kekelaman, mengerikan, bahkan mengancam—yang selama ini cenderung dianggap
rawan dielaborasikan karena menyangkut sentimen masyarakat Indonesia yang Homo religius. Konsep ‘kelam’ menjadi
payung kritik dalam mencermati dan mendekonstruk Qorin dalam membincangkan pesantren dan perempuan. Sebagai
perangkat operatif yang analitis, ‘kekelaman’ dapat diturunkan melalui beberapa
pembongkaran pada: pemilihan genre, struktur narasi, hingga penokohan.
Pemilihan Genre Horor Sebagai Hulu Menuju Kelam
Konvensi horor sebagai genre
menyediakan fitur-fitur yang semestinya bisa dieksplorasi sebagai wahana ‘liar’
mencaci, menghukum, mengadili, dan sebenarnya bisa memfasilitasi ‘siksaan’ bagi
musuh umat—atau musuhnya kaum perempuan dan santriwati dalam konteks film Qorin. Kecemasan publik semestinya bisa
terwakili, juga sikap perlawanan yang harusnya bisa dikenali lewat penggambaran
dalam film. Sebagaimana pandangan beserta studi terhadap sinema horor oleh
Philip Brophy dalam “Horrality: The
textuality of contemporary horror films”, Joseph Grixti dalam “Terrors
of uncertainty: The cultural contexts of horror fiction”, serta Mark
Jancovich lewat tulisan “Horror”,[1] genre horor memegang peranan
untuk merekam kecemasan sosial tertentu. Qorin
secara konkret menciptakan berlapis-lapis kecemasan: cemasnya warga
pesantren hadapi teror setan, sekaligus teror setan bermuka pemuka agama.
Meminjam adagium Melayu “Dalam satu
tandan pisang, tidak semua buahnya busuk, dan tak pula semua buahnya bagus.”
Keresahan yang diartikulasikan Qorin dengan
pendekatan horor adalah cara memotret segelintir pesantren bermasalah yang
patut mendapat rekognisi jempolan atas motivasi tersebut. Pemilihan genre horor
untuk mempercakapkan kasus ini terbilang jitu. Menurut Andrew Tudor dalam esai “Why horror? The peculiar pleasures of a popular
genre”, film horor juga dirancang
untuk memungkinkan dikonstruksikannya isu maupun tema yang
transgresif—komunikasi yang secara purposif untuk membuat marah atau
menampakkan bentuk pelanggaran moral dasar dan sensibilitas.[2] Di sinilah Qorin berkesempatan ‘menelanjangi’ segelintir pesantren dan oknum penjahat kelamin
yang berlindung di balik persona alim-ulama dengan ganas. Publik perlu
dipaparkan bahwa ini membutuhkan kesadaran bersama untuk berani menegakkan
keadilan dan kemanusiaan dengan meminggirkan embel-embel kesungkanan hanya
gara-gara oknum itu terasosiasi dengan citra lembaga agama yang tidak sakral.
Tidak pernah ada tatanan hierarki
dalam genre film, apalagi inferiorasi dan arketipe yang menganggap genre
tertentu lebih unggul dibanding yang lain. Horor juga memiliki kapasitas yang
tepat dalam mengambil kedekatan untuk isu tertentu. Jauh sebelum teknologi film sebagai seni yang belia hadir, genre
horor dalam semesta narasi bahkan telah hidup sejak hulu peradaban manusia
muncul. Kekuatan genre bahkan dapat terkenali dalam kisah-kisah yang termaktub
di kitab suci, katakanlah—menyesuaikan nuansa konteks film yang dibahas dari
dunia sosial Muslim—bagaimana Quran Surah Al-Falaq menarasikan sesuatu yang
mencekam di waktu subuh yang berkelindan pada unsur kejahatan tidak kasat mata
dalam gulita dan tukang teluh.
Di era modern, sihir sebagai kekuatan
metafisika dan makhluk astral menjadi pernak-pernik penabuh konflik dan
melampaui batas-batas rasionalitas sosial, juga bermain di tataran filosofis
sebagai manifestasi katarsis sebagaimana kebanyakan film horor
mengomposisikannya. Lebih-lebih bila perangkat dan metode menguasai secara gaib
ini ditranslasi dan terenkripsi dalam sistem sosial, berfusi dengan
ketersediaan sumber daya yang komplet, lalu tersistematisasi dalam strukturasi
relasi kuasa, bahkan dinormalisasi. Sihir sebagai—kita katakan—teknologi kian
menambah derajat kerusakan yang luar biasa bila prinsip tanggung jawab sosial
dikorupsi dengan serta-merta. Sihir tidak bisa dijelaskan. “Magic cannot be explained. Magic can only be
practiced, as you all well know” ungkap Heinz von Foerster dalam bukunya “Understanding Understanding: Essays on
cybernetics and cognition.” Alamak, kekuasaan bisa menyabotase dari tataran
lahir hingga batiniah. Qorin menangkap
itu sebagai pemandangan mengerikan—bahkan sangat mencemaskan. Melalui pemilihan
genre, karakter, hingga narasi dan monsterisasi, Qorin dengan optimis melawan arus utama. Di saat
kebanyakan—sepengamatan penulis malah hampir semua dan kecuali 3 Doa 3 Cinta dan Perempuan Berkalung Sorban, film-film Indonesia yang berkisah
mengenai dunia pesantren yang selalu menggambarkan kehidupan pesantren serba
adiluhung dan diasosiasikan serba prima. Kontras dari hal kelaziman tersebut, Qorin mengelamkan pesantren
sekelam-kelamnya. Tentu, secara apriori penulis menilai keputusan ini bukan
intuitif dan impulsif. Agensi dari sineas-sineas perempuan yang mengasuh narasi
Qorin terlihat menitipkan keresahan
yang hendak disuarakan.
Qorin
terbilang bukan yang pertama ‘mengelamkan’ pesantren dengan mengonstruk
lembaga agama ini dipenuhi ranjau, teror, dan bahkan sarang kemungkaran. Di
tahun 2013, film Pesantren Impian besutan
Ifa Isfansyah mengukuhkan diri sebagai film thriller religi pertama di jagat
perfilman tanah air. Namun narasinya tidak menyikut isu gender, apalagi politik
gender, namun hanya menjadikan pesantren serba kelam oleh rangkaian pembunuhan.
Bukan sebuah keputusan yang sembarangan untuk mengomposisikan pesantren dalam
wacana yang sarat kegelapan, kekeruhan, kebiadaban, kepicikan, dan kekerasan.
Pesantren dan genre horor terlihat sebagai sandingan yang ‘lebih horor’
daripada horror genre itu sendiri.
Kalau meminjam logika berpikir secara metodologis critical discourse analysis Fairclough,[3]
apa yang terkonstruk dalam Qorin sebagai
teks akan memiliki relasi yang resiprok dengan konteks sosial Indonesia secara
makro. Riuh-rendah hingga kebisingan ruang publik yang melayangkan protes
bertubi-tubi terhadap film yang menggambarkan pesantren secara buruk, bisa saja
menjadi bulan-bulanan lalu divonis sebagai upaya penistaan. Film dan sineasnya
malah bisa-bisa dituduh sekuler, anti-pesantren, hingga anti-Islam.
Sekilas menyikut tentang nasib Perempuan Berkalung Sorban (2009) di satu dekade silam yang menjadi salah
satu film Indonesia paling penting karena bernyali mengkritik kemandekan sistem
bernalar yang nirprogresifitas dan kontraproduktif bagi kehidupan kaum
perempuan pesantren salaf yang terselubung perspektif primitif konservatif.
Sebagaimana menempuh jalan kritis, ada pula harga yang dibayar di balik
keberanian tersebut. Film garapan Hanung Bramantyo itu menyemai kegaduhan di
tengah publik yang—seperti bisa ditebak—karena dianggap menistakan pesantren
dan kiai. Saking riuhnya, sejumlah dialog dan program talkshow televisi mengangkat episode khusus terhadap kontroversial
film tersebut.
Paradoks Karakter Yang Kian Mengelamkan
Sejauh mana metafora ‘kelam’ dapat
dialamatkan bagi Qorin? Di bagian
yang belum terlalu jauh—menjelang puncak bagian esai ini, ternyata pertempuran
logika purba antara baik dan buruk tidak sesederhana itu dalam dunia naratif Qorin. Kekelaman juga mencakup tentang
eksistensi kebaikan, tetapi memiliki cacat dalam menyuarakan keterus-terangan.
Ada terang yang berselaput gulita. Ada lapis-lapis negosiasi dengan diri untuk
mengimplementasikan agensi. Terjadi persilangan bahkan irisan-irisan yang tidak
biner bila ditelaah dari konstruksi karakter-karakter. Pemikiran Algirdas
Greimas mengenai oposisi segi empat yang tertuang dalam bukunya “Semiotics and languages: An analytical
dictionary” dapat membantu
menjelaskan bagian ini. Pemikiran Greimas harus diakui menjadi
komplementarisasi atas gagasan oposisi biner dari Levi Strauss yang hanya
menyoal dua hal saling berlawanan, sebab realita sosial jauh lebih kompleks dan
tidak dapat disimplifikasi demikian. Banyak variasi-variasi yang tidak sekadar
oposisi, melainkan tumpang-tindih antara kontradiksi juga implikasi antara
watak-watak yang dijalankan tokoh-tokoh dalam film Qorin. Hal ini menciptakan paradoks yang membuat mengernyitkan
dahi—sebutan halus penulis untuk menyebut problematik yang kian kelam diracik
narasi Qorin.
Kekelaman terbentuk dari karakter yang
mengimplikasikan keabu-abuan, kadang tidak baik dan tidak buruk. Penokohan
Yolanda dengan agensinya yang berpihak kepada keselamatan kaum perempuan
nyatanya tidak disokong oleh atribusi karakter seorang protagonis yang tipikal,
seperti: salihah, taat, terpuji, dan sejenisnya. Yolanda secara penampilan luar
digambarkan berani tampil nyentrik dengan rambut merahnya, membekali diri
dengan pisau lipat, memiliki pengalaman hubungan kekasih yang rumit dan bebas,
merokok—dalam konteks ini bukan mengacu pada normalisasi stereotip perempuan
perokok adalah buruk melainkan untuk menjelaskan tindakan Yolanda yang tidak
menggubris peraturan pesantren sebagai pembangkang, dan terbiasa mengumpat.
Karakter Yolanda mengisyaratkan sebuah dualitas yang sumir dan kabur antara hero atau anti-hero. Namun, hanya Yolanda yang menjadi satu-satunya
santriwati dengan lantang menyela Ustaz Jaelani dalam menyoal manfaat menggelar
ritual pemanggilan Qorin, didukung pula oleh gestur tubuh menantang dan kontak
mata menghunus tajam. Berulang-ulang juga Yolanda menggedor kesadaran
rekan-rekan sejawatnya untuk berani vokal dalam membeberkan ketidakberesan dari
perlakuan ganjil Ustaz Jaelani. Puncaknya ketika ia berani merekam perbuatan
cabul Ustaz Jaelani dalam modusnya meruqyah seorang gadis.
Berbanding terbalik dengan karakter
santriwati teladan seperti Zahra. Digambarkan berwatak teduh, anggun, kalem, prestatif,
dan paling utama dalam konteks situasi film ini adalah salihah. Di balik paket
lengkap protagonis nyaris sempurna ini, tersimpan nelangsa yang harus
diumpetnya sedalam mungkin. Kepatuhan Zahra ternyata membawanya pada malapetaka
di mana ia tidak bisa menampik dari pelecehan seksual yang dilakukan Ustaz Jaelani.
Kecerdasan tidak menjadi garansi bagi keberanian. Narasi Qorin mendedahkan diferensiasi tebal antara keberanian dan kualitas
intelektual bahkan spiritual. Kekelaman nasib yang harus diregup Zahra adalah
kenyataan getir dari kebanyakan perempuan yang terbungkam karena terlindas di
bawah relasi kuasa.
Banyak santriwati yang menjai korban
pelecehan seksual di pesantren memilih bersenyap karena waswas dianggap
mengada-ada atau malah menjadi bumerang bagi diri sendiri. Hal itu tergambar
dari adegan Yolanda yang hendak menghubungi pihak berwajib lalu diinterupsi
Zahra dengan dalih tidak akan ada yang percaya dengan aduan tersebut. Alih-alih
dipercaya, Zahra malah lebih takut dihantui beban moral dan stigma sosial.
Porsi konflik tidak sekadar sampai di tataran
agensi para santriwati, Qorin juga
menyinggung bagaimana Ummi Yana (Putri Ayudya) sebagai guru perempuan di sana juga
digambarkan dalam ketidakjelasan—yang diduga hanya kecohan di pertengahan.
Sedari awal, Ummi Yana digambarkan sebagai tokoh yang mengayomi, penyayang,
peduli, hingga paling bertanggung jawab atas segala peristiwa yang terjadi di
dalam asrama. Puncak ketegangan yang akhirnya memvonis Ummi Yana sebagai
karakter ambigu adalah di saat Yolanda menunjukkan bukti video pelecehan yang
dilakukan Ustaz Jaelani, tetapi Ummi Yana dengan spontan merampas dan
mengamankan gawai Yolanda. Kontan saja satu-satunya bukti yang Yolanda miliki
untuk membongkar kebengisan Ustaz Jaelani musnah. Dibanding perwatakan Yolanda
sebagai karakter sentral, bagian rancu dalam mengidentifikasi karakter Ummi
Yana hanya berlangsung dalam kapasitas minor. Ummi Yana pada dasarnya mengemban
pemikiran logis untuk menguarkan proteksi bagi anak didik, namun lagi-lagi
terbandul oleh beban politik—mungkin pencitraan—pesantren. Qorin dengan sangat geram mengembos konstruksi adegan-adegan
ketakutan untuk membelek belang dari pemuka agama baik oleh santriwati korban
maupun guru yang berafiliasi di bawah struktur kepengurusan. Kekhawatiran Ummi
Yana dapat saja menjadi kristalisasi realitas keji yang mengendap—atau terpaksa
diendapkan—para guru lembaga agama di dunia sosial sesungguhnya karena ditikam
oleh beban politik pencitraan pesantren. Kerancuan dan fluktuasi karakter yang
membuahkan tindak-tanduk inilah yang menjadi sesuatu yang mengerikan dalam
narasi Qorin.
Puncak Kekelaman Qorin pada Kelindan Narasi dan Monsterisasi Doppelgänger
Narasi dibuka dengan teror qorin
pertama di ladang jagung, persisnya ketakutan yang maha mendera santriwati
bernama Sri (Alyssa Abidin) yang diburu lalu disergap oleh qorinnya sendiri.
Dalam takaran proporsi naratif Qorin, tokoh
Sri tidak terlalu mendapat panggung penceritaan yang besar. Zahra (Zulfa
Maharani) dan Yolanda (Aghniny Haque) menjadi pionir penggerak narasi Qorin. Di antara santriwati yang
mengenyam pendidikan agama di pondok pesantren tersebut—yang akan dibahas di
bagian berikutnya terkait ketidakpastian institusi ini secara eksplisit, Zahra
adalah santriwati paling bersinar dengan predikat murid teladan, bahkan menjadi
andalan Ustaz Jaelani (Omar Daniel). Demi mengejar target prestasi, Zahra rela
menuruti segala perintah dari Ustaz Jaelani, yakni: pertama, mendampingi dan
mengawasi santriwati baru yang terkenal nakal bernama Yolanda; dan kedua,
mempersuasi dan menggerakkan para santriwati untuk menjalani ritual pemanggilan
jin qorin. Para santriwati diminta mengumpulkan kain kafan, potongan kuku, lalu
dibungkus menyerupai miniatur pocong yang diterakan nama lengkap. Upacara
pelemparan kafan ke dalam liang menjadi simbol pemaksaan sekaligus
keterpampangan ketidakberdayaan santriwati gara-gara dilindas relasi kuasa
bertingkat; antara murid dan guru juga petinggi pesantren. Pasca dari ritual
tersebut yang dikemas sebagai ujian praktik, berbagai teror melanda seisi
pesantren.
Di pangkal guliran narasi, Qorin sudah memamerkan monster utama
berwujud replikasi manusia atau meminjam idiom dari teoretisasi doppelgänger tentang makhluk kembar. Monster utama yang dihadapi
sekawanan santriwati dalam semesta Qorin
adalah doppelgänger yang dinarasikan dari
khazanah mitologi masyarakat Muslim. Dalam perspektif pengetahuan Islam, qorin
menjadi spesies jin yang menjadi kembaran manusia sejak dilahirkan. Jin ini
menjadi replikasi utuh atas fisik dan perilaku yang identik, dikarenakan qorin
menyimpan memori referensial atas seseorang lantaran ia telah bertumpang pada
manusia tersebut sejak hari kelahiran. Proposisi atas narasi jin inilah yang
diimprovisasi sebagai kanalisasi ketakutan dalam jagat naratif Qorin. Kelemahan dalam narasi Qorin terletak pada keluputan bercerita
mengenai apa dan bagaimana mitologi Qorin. Bagi audiens non-Muslim yang tidak
akrab dengan Qorin akan dibuat kelimpungan memahami produk ‘hantu’ yang jadi
jajaan utama film ini. Sebagai informasi trivial, qorin termasuk spesies jin
yang paling beken, setidaknya ada dua rumah produksi ‘berebut’ judul, salah
satu yang lain adalah Jin Qorin (2023)
dari sutradara Ubay Fox. Jin-jin ini berasal dari referensi yang spesifik dan
dengan pekerjaan khusus—kemaksiatan yang digemborkannya. Dengan memfiksikan
literatur monster doppelgänger yang
dianut oleh masyarakat Muslim kultural, klimaks kekelaman paling kelam secara
sinematis terletak pada narasi dan korelasi monsterisasi qorin.
Salah satu premis penting yang
diajukan Joseph Grixti dalam bukunya “Terrors
of uncertainty: The cultural context of horror fiction”, fiksi membantu
bagi siapa pun untuk meneroka monster dengan cara yang terkontrol, terkendali,
jauh dari ancaman, dan dari jarak yang aman. Monster mewakili sebuah kanon
bahwa barang siapa yang taat terhadap aturan kontrol untuk menciptakan
ketertiban sosial, maka dia bukan, atau tidak akan menjadi monster. Dalam Qorin, terjadi rencana eksploitasi yang
teroskestrasi. Santriwati-santriwati akhirnya ketiban malang dengan teror-teror
doppelgänger mereka setelah mereka
seolah ‘bersepakat’ terhadap ide picik Ustaz Jaelani. Mereka tidak dapat
berkutik sebab tuntutan mengikuti praktik ritual memanggil qorin—yang artinya
memasrahkan kontrol atas doppelgänger mereka
yang tidak kasat mata itu—terorganisir dalam penataan kurikulum bahkan
dijadikan standar kelulusan. Di sinilah representasi dalam film Qorin terbilang terampil menggodok
sebuah realitas sosial yang dapat menjadi alat peraga dan pemberi eksplanasi
terkait praktik agen dan struktur yang mengawetkan relasi kuasa dalam
masyarakat. Polemik agen-struktur ini yang menjadi nyawa dari konflik narasi Qorin atas politik ‘pencitraan’
pesantren dan politik gender yang mati-matian berorientasi mengutamakan
proteksi dan inklusifitas.
Meminjam pemikiran Anthony Giddens, agen dalam strukturasi merupakan pelaku
atau orang-orang konkret yang berada dalam arus kontinu atas segala tindakan
dan peristiwa yang ada di dunia. Agen merujuk pada pihak-pihak dalam kehidupan
sosial, baik secara individu maupun dalam skala besar seperti masyarakat.
Individu sebagai aktor soial di mana perilakunya dibentuk dari matriks relasi
dan posisi mereka di lingkungan sosial, semisal pada kelas sosial, gender, ras,
dan apa saja. Struktur sendiri
dipahami sebagai aturan (rules) dan
sumber daya yang tersedia di mana dapat dipertimbangkan dan digunakan oleh agen
dalam mengaktualisasikan perilaku dan interaksinya. Lebih jauh, aturan di sini
membidik pengertian sebagai prosedur yang telah digeneralisasi, juga metodologi
yang dimiliki agen dalam kapasitas pemahamannya (stock of knowledges) yang implisit, serta digunakan layaknya
pedoman maupun formula dalam bertindak di kehidupan sosial.
Koheren dengan kerangka berpikir agen
dan struktur tersebut, lalu dikawinkan dengan konteks sosial kultural di
Indonesia, maka agen yang memiliki kuasa atas penguasaan sumber daya sangat
memungkinkan mengalokasikan kuasa yang dipunya sebagai instrumen mempraktikkan
kolonisasi hingga subordinasi dalam aneka bentuk. Dalam hal ini, ulama atau
pemuka agama menjadi figur di strata paling mapan yang terlazimkan acap
dipuja-puji, bahkan pantang dan anti dicerca maupun dinilai kritis. Di upaya
mengkritisi lebih lanjut, agen ulama ini juga didominasi oleh kaum pria dengan
segenap norma-norma yang dipelihara dan nyaris bertendensi boys club. Periferasi yang dialami ulama perempuan juga menjadi
penting ditilik, terutama juga dalam upaya representasi dalam film-film
Indonesia.
Film menjadi contoh betapa normalisasi
dari praktik strukturasi di lingkungan sosial tersebut turut termediasi ke
dalam bahasa media, kali ini adalah film. Sewaktu disodorkan film-film yang
mengangkat narasi seputar keberdayaan perempuan di posisi-posisi ‘tidak biasa’
karena selama ini telah berlangsung prevalensi konotasi keimaman lembaga
pendidikan di tangan laki-laki—di luar konteks peribadatan—maka timbul impresi
sebagai sesuatu yang ‘baru’—sebagaimana penulis singgung di alinea pembuka esai
ini. Terbit satu pertanyaan kritis: sebegitu
berbedakah perempuan sampai muncul film-film yang mengunggulkan posisi
perempuan dalam film pesantren menjadi sesuatu yang ‘seksi’? Artinya,
inklusi gender masih menjadi pekerjaan rumah utama dalam sistem pesantren.
Sebagai pengkaji, maka tugas penulis untuk memeriksa kecenderungan resonansi
nir-egaliter gender pada dunia pesantren dalam tahap wacana sebagai hasil
mediatisasi. Keadaan demikian melegitimasi tentang penetrasi praktik
keberbedaan atau peliyanan pada kategori gender di luar laki-laki dalam praktik
kepemimpinan pesantren dan negosiasi politiknya, bahkan sampai ke layar
perak. Di saat film-film Indonesia
mungkin belum tergugah untuk mengartikulasikan kritik pada isu-isu sensitif
yang dikhawatirkan mengganggu reputasi ulama dan lembaga agama, maka kita patut
berterima kasih terhadap Qorin yang
mengisi kerumpangan itu—dan dengan catatan kaki tentunya. Dalam godokan
naratifnya, Qorin juga menggambarkan
hal tersebut, termasuk simbolisasi dan keputusan memilih doppelgänger versi dunia Islam sebagai monster.
Relevansi pemilihan qorin sebagai
monster yang mereplikasi manusia menjadi keputusan cerdik menengahkan
problematik kemanusiaan—atau menggugat demarkasi antara apa yang membedakan
antara manusia dengan monster atau keduanya sebenarnya bermanunggal atau
berarsiran. Hal ini linear dengan lanjutan penegasan Grixti bahwa pengendalian
atas monster menjadi aksi ‘pengendalian atas tatanan yang beradab’ demi
mencegah monster tersebut mendatangkan rentetan malapetaka dalam masyarakat. Qorin dalam hal ini memilih jalur
tradisi atau ritus penghalauan atau menjinakkan sementara—karena tidak
sepenuhnya musnah digambarkan—monster dengan bacaan doa sebagaimana bersumber
pada teologi Islam. Narasi Qorin ternyata
tidak menamatkan invasi para monster doppelgänger
dengan kelenyapan, melainkan digambarkan tetap membersamai dalam hening dan
kepasifan. Terdapat potongan kontemplatif dari Peter Messent—melakukan
pendekatan studi monster pada sastra gotik—dalam esai “American Gothic: Liminality in Thomas Harris's Hannibal Lecter Novels”
yang menjelaskan bahwa pemisahan
antara ketidakstabilan yang menyeramkan dan tatanan yang beradab telah
menciptakan sebuah kelemahan ruang-antara, di mana menantang
khalayak—memahami—pengalaman dunia di sekitar mereka. Memaknai hal ini dalam
mencerap bagaimana penghujung narasi Qorin,
terpampanglah kenyataan bahwa manusia menyimpan ‘bakat’ monster atau sebenarnya
monster dalam level dan skalanya tersendiri. Dia tidak akan mungkin raib, toh
dia adalah ‘diri’ dari monster itu sendiri. Dalam percaturan politik gender dan
pesantren, kestabilan—atau baca keselamatan—bagi eksistensi perempuan adalah
fana. Bukan dibajak oleh Ustaz Jaelani, monster doppelgänger bisa saja disabotase oleh oknum lain selama sistem
sosial yang mendudukkan pesantren sebagai organisasi masih belum berkhidmat
pada pengutamaan nilai-nilai respektif terhadap perempuan. Perempuan tetap
masih belum aman selama kerusakan masih mencokol dalam sistem sosial kebudayaan
kita—di bawah kode sosial religius.
Monster merupakan ‘makhluk politik’
yang menanamkan kegentaran dan guncangan stabilitas dalam masyarakat, dan
sebagai penggambaran atas konsekuensi dari kegagalan umat manusia, khususnya
yang melinggis trajektor antara kesopanan dan ketidaksopanan, ketertiban dan
kaotik, dan destabilisasi, demikianlah Edward J. Ingebretsen menuliskan
gagasannya dalam esai “Monster-Making: A
Politics of Persuasion.” Premis
utama dari konstruksi monster qorin adalah aspek kembar atau kemiripan
identik—seperti salinan namun dengan konversi tampang mengerikan—dengan
manusia. Satu manusia dengan satu qorin, artinya setiap manusia memiliki
monster bawaannya masing-masing. Selama tidak ‘diperalat’ Ustaz Jaelani, para
monster doppelgänger ini tidak
menimbulkan aksi signifikan, namun jika diaktifkan melalui ritual klenik Ustaz
Jaelani barulah mereka menyerang manusia yang diduplikasinya.
Lebih lanjut, Ingebretsen juga
mencatat bahwa karena sineas menciptakan monster dalam rupa manusia,
orang-orang bisa saja salah mengira satu sama lain. Dalam penggambaran lain,
keidentikan monster dan manusia membuat para santriwati sepintas tidak
menyadari bahwa apa yang disaksikannya adalah qorin. Sebagaimana tampak pada
sejumlah adegan, di mana Zahra yang tidak bisa mengenali sosok Sri di siang
hari yang ternyata monster doppelgänger, lalu
berakibat ia lalai mengawasi Yolanda yang tengah menyelinap ke dalam ruang guru
lalu ditangkap basah Ummi Yana. Di kesempatan berbeda, Zahra—lagi-lagi tidak
mengenali bahwa dua santriwati berjilbab di malam hari adalah monster doppelgänger, sampai Yolanda kemudian
menegurnya bahwa yang berdiri di hadapannya adalah qorin.
Memaknai deretan pengadeganan dan
simbolisasi monster doppelgänger para
santriwati yang justru menyiksa tubuh fisik para empu tempat para monster doppelgänger ini bercermin, sontak ini
menjadi gigantisme kecemasan dan ketakutan dari para puan khususnya para
pelajar perempuan yang terbungkam. Monster doppelgänger
itu adalah cerminan diri mereka yang marah, berontak, dan terluka. Harkat
dan martabat mereka tercabik-cabik oleh aksi bejat Ustaz Jaelani.
Ketidakberdayaan menghadapi kesemena-menaan—dalam hal ini—atas perlakuan tidak
senonoh para oknum pencabulan yang terdekorasikan citra agamis menjadi parasit
yang mengereposi kebertahanan mereka secara fisik dan psikis. Di level yang
lebih dramatis, Qorin menarasikan
ketragisan tentang ‘keheningan’ para santriwati korban pelecehan seksual dengan
monster doppelgänger yang juga tidak
terhindar dari ‘santapan’ birahi sang predator seksual yang dipanggil ustaz
itu. Ustaz Jaelani dengan keselewengannya juga menyalurkan hasrat penaklukannya
kepada entitas qorin santriwati. Dalam satu adegan, Ustaz Jaelani merogol
monster doppelgänger Ica di dalam
bilik, dan kejadian itu diintip oleh Zahra.
Refleksi Kekelaman Paripurna: Ketakutan Politik
Pesantren VS Politik Gender
Orkestrasi dari kekelaman yang tersusun
antar tataran teks Qorin akhirnya
mengantarkan sebuah refleksi serius atas percaturan yang terjadi dalam sistem
sosial Indonesia. Dinamika sosial politik domestik telah meredefinisi konsep
pesantren menjadi tidak lagi sederhana. Membicarakan pesantren juga
membicarakan kekuatan elite dan massa, gengsi dan prestise, sekaligus kekuatan
dan keberdayaan yang bisa memengaruhi arah kepentingan dari skala masyarakat
akar rumput hingga para elite pelat merah di republik ini. Keputusan memilih
pesantren sebagai lokus konflik, apalagi bagi gelanggang gelut dua kepentingan
politis antara gender dan pesantren dalam konvensi genre yang—sebagaimana kita
tahu acap—menghadirkan setan-setan adalah keputusan yang serius. Hal ini akan
berdampak teruk dalam pencermatan sentimen keagamaan masyarakat. Telaah atas Qorin juga menjadi cara dalam meninjau
sejauh mana agensi perempuan berani bermain api ke dalam kubangan politik
pesantren. Sebagaimana pesantren sebagai konsep yang politis, Qorin mau tidak mau juga terjerat dalam percaturan
kuasa, serta berbicara ‘politik’.
Film-film Indonesia terus
menggencarkan politik pencitraan terhadap pesantren dan menebalkan taraf
superiornya, sehingga yang terjadi adalah kekebasan pesantren sebagai simbol
kekuasaan lantaran terlena oleh bertumpuk eulogi bombastis. Di antara karnaval
film-film tentang pesantren, mayoritas film berbicara melulu tentang nilai
lebih, konformitas, keunggulan, hingga nilai-nilai bajik yang diterapkan
pengelola sekolah agama tersebut dengan segenap stereotip yang ‘aman’ alias
serba baik. Film-film Indonesia terus memprevalensi deifikasi pesantren dan
kiai dari waktu ke waktu. Ketika dicekoki hal serba ideal, di situlah
keseimbangan terusik. Di saat keteraturan (order) dan kekacauan (chaos) adalah dua hal
yang mutlak dijumpai dalam tatanan sosial—dan di mana pun, maka
pesantren—sebagai konsep—semakin mati rasa untuk dipantik dalam diskursus yang
antitesis dari segala kemuliaannya. Pesantren sulit dibawa ke ranah percakapan
yang berorientasi sensitizing social
system dengan orientasi calling the
problem melalui percakapan yang rasional, mendewasakan, dan demokratis.
Selama pesantren selalu mengacu pada wacana-wacana pemuliaan, maka pengemukaan
pemikiran vice versa mesti juga
diberi tempat dan diabsorpsi. Salah satu caranya adalah dengan membelek catatan
galat, skandal, maupun rapor merah pesantren.
Afirmasi terpenting dari upaya ini
adalah dengan memperkuat normalisasi pesantren sebagai institusi yang tidak
melulu mengandung penyifatan kesempurnaan permanen—atau memang tidak akan serba
pernah sempurna sebenarnya lantaran dikelola manusia yang fitrahnya tidak akan
mampu mencapai kesempurnaan. Pelaziman pewacanaan yang memuja-muja pesantren
telah menyebabkan segala simbol atas pesantren didesak untuk tidak boleh kelihatan
belang dan cacatnya, termasuk juga sewaktu dipercakapkan di ruang publik.
Apabila ternganga borok yang diakibatkan ulah oknum dari kalangan pesantren,
orang-orang—dari kalangan pesantren atau kelompok umat tertentu—malah
mengupayakan kabar itu dikikis perlahan-lahan, cerita sumbangnya teredusir,
lalu terlupakan. Semua atas nama
kecintaan terhadap ulama, padahal tidak semua ulama adalah ulama sejati.
Sebagaimana pesantren yang sepatutnya
boleh—bahkan perlu—dikritik, maka film tentang pesantren jelas-jelas tertimpa
resonansi bias dari kegentaran mengkritik. Bertolak dari hal tersebut, perlulah
kritik ini ada untuk mengkritik film tentang pesantren yang masih rikuh
mengkritik pesantren yang terkesan anti kritik. Seketika pernyataan ini
membangunkan ingatan tentang kebisingan publik menggerayangi Perempuan Berkalung Sorban yang dituduh
menistakan pesantren dan kiai. Adalah sebuah kecelakaan berpikir seandainya
logika mengkritik pesantren hingga kiai disamakan dengan menistakan agama.
Kritik kepada kiai jelas perlu dipahami sebagai aktivitas evaluatif figur
publik secara pribadi dalam kapasitasnya selaku insan yang mempunyai banyak
limitasi, bukan mengatasnamakan simbol kiai secara galib. Permainan
representasi di level teks Qorin harus diakui memberikan hajaran sampai
babak-belur mengecam pelaku kekerasan seksual di dalam pesantren, namun tetap
disematkan beberapa catatan kelemahan.
Memburu Yang Eksplisit: Ragu-ragu Menyebut
Pesantren
Blain Brown dalam “Cinematography: Theory and practice” menggarisbawahi betapa
vitalnya pengenalan geografis dan lingkungan untuk meyakinkan bahwa konflik
hadir di lingkungan yang kuat. Tidak sekadar tempat, namun ditunjang oleh
tanda-tanda yang mampu memperkuat definisi suatu lokasi dan konteksnya. Adegan
salat subuh berjamaah hingga setoran hapalan menghamparkan berpuluh hingga
ratusan santriwati, begitu juga penyebutan sapaan ‘santriwati’ berulang-ulang
harus diakui memperkuat khalayak memaknai kondisi di layar sebagai pesantren,
walaupun tidak bisa dikatakan meyakinkan seratus persen. Keganjilan timbul
ketika memperhatikan rasio jumlah murid dan dewan guru bagai bumi dan langit
yang kentara perbedaannya. Dari durasi awal menyorot pesantren, hanya ada Ummi
Yana (Putri Ayudya) yang bertugas rangkap
sebagai imam salat, guru, kepala asrama, merangkap ‘juru selamat’ di
akhir cerita. Di mana guru-guru pesantren
lain? Cuti kah? Libur kah? Lagi melanjutkan S2-kah? Atau resign karena trust issue yang mengganggu mental health mereka
atau terpapar bad influence dari kiai toxic ala-ala gimik generasi Gen Z?
Diplomasi film ini kehilangan
energinya karena—lagi-lagi—dibandul oleh beban politik pencitraan pesantren.
Banyak kosa gambar yang seperti diumpet-umpet untuk ‘mensubtilkan’ dan
meringankan risiko sekaligus beban dari penamaan lingkungan keagamaan. Salah
satunya, satu shot paling determinan
dan harusnya fungsional adalah sewaktu kamera menangkap close up dengan teknik tilt
up pada bagan struktur kepengurusan. Sebagaimana Steven D. Katz dalam “Film directing shot by shot: Visualizing
from concept to screen” dan Joseph
V. Mascelli melalui “The Five C’s of Cinematography: Motion Picture Filming
Technique Simplified” menyebut teknik close
up untuk memberikan afirmasi dan pemusatan, bahkan melihat kencondongan
ajakan untuk mengetahui hal-hal penting yang disinyalkan pembuat film yang
memungkinkan objek tertentu dapat tertangkap perwajahan detilnya.[4]
Alih-alih menggampangkan pekerjaan
penonton untuk lekas mengidentifikasi lokasi cerita yang adalah ‘Pondok
Pesantren Putri Al-Hikmah’, namun teks yang tertera mencolok di sana berbunyi
‘Asrama Putri Al-Hikmah’. Bila diamati
secara rinci, properti bertuliskan Pondok Pesantren Al-Hikmah ternyata tetap
ada, namun semuanya tersemat pada objek-objek yang terlihat sengaja tidak
digubris untuk ditangkap close up, dan
semua itu bila diamati rinci yang hanya bisa dilakukan sewaktu Qorin sudah nangkring di Netflix. Kata
‘pondok pesantren’ baru tertangkap basah bila film di-pause dan khalayak disita atensinya untuk menatap lekat-lekat—yang
barangkali tidak dihiraukan penonton kebanyakan. Label pesantren ini nyatanya
tersemat seperti di jam dinding, plang besi masjid yang tersembunyi di pojokan frame film, keterangan di foto Kiai
Mustafa yang berukuran macam semut berbaris di kejauhan latar belakang kelas,
sampai jilbab seragam santriwati yang terang-terangan bertuliskan pesantren
tapi sulit terbaca karena gerak-gerik dan kibaran jilbab para pemeran. Ada apa
dengan filter dan seleksi shot dalam
sekuens-sekuens Qorin yang lebih
percaya diri mempromosikan ‘asrama’ dibanding ‘pesantren’ secara langsung?
Teknik close up malah dipakai untuk
menampakkan struktur kepengurusan asrama putri yang malah kalau dicermati
susunannya malah identik seperti pohon kepengurusan pondok pesantren secara
makro dan formal. Penulis dan rasanya kebanyakan penonton akan dengan entengnya
melupakan nama lembaga yang entah asrama, entah pesantren ini. Sewaktu ditonton
ulang barulah menyadari namanya Al-Hikmah, mungkin ini hikmah yang bisa dipetik
penonton.
Pertemuan perdana santriwati baru
bernama Yolanda dengan Ummi Yana juga disambut dengan sebutan tempat yang bukan
pesantren, begini perkataan Ummi Yana: “Selamat datang di asrama.” Diam-diam
ada makna pesantren yang dikerdilkan sebatas bangunan hunian pelajar, bukan
bertumpu pada lokus di mana proses pembelajaran dan penalaran menjadi
episentrum perjuangan kaum perempuan untuk membongkar dan memerangi tirani yang
bersemayam dalam kultus kaum pesantren dan masyarakat Muslim umumnya. Sineas
perempuan seperti tidak leluasa untuk berbicara perjuangan dan keselamatan
pelajar perempuan melalui narasi pesantren yang bermasalah.
Kesungkanan menyebut eksplisit sebagai
pesantren melahirkan kerancuan dan menjurus pada tindakan distorsi. Dalam
bukunya berjudul Cinematography: Theory
and practice, Blain Brown telah mewanti-wanti bahwa ketidakjelasan lokasi
dan alokasi pemilihan pembuatan shot akan
menjadi pengusik, sebagaimana disebutnya:
“Anggaplah frame lebih dari sekadar gambar—ini
adalah informasi. […] Ini tentang memandu mata dan mengarahkan perhatian
audiens secara terorganisir yang menyampaikan makna yang ingin pembuat film
sampaikan. […] Menyampaikan informasi lokasi yang dikombinasikan dengan
potongan cerita atau sesuatu ide secara visual, infleksi trek suara, atau apa
pun yang meningkatkan pemahaman
tentang tempat, suasana hati, atau apapun merupakan hal yang berguna bagi
sineas sebagai pendongeng. […] Menetapkan geografi sekaligus pengenalan tempat sangat
membantu penonton untuk memberi tahu mereka “lay of the land” dalam sebuah adegan.
Ini membantu
mereka mengarahkan diri dan mencegah kebingungan yang mungkin mengalihkan perhatian mereka dari cerita. Ada
kalanya anda—sebagai sineas—ingin menyimpan tata letaknya sebagai misteri, tentu saja. Seperti yang
akan kita lihat sepanjang pembahasan tata bahasa dan penyuntingan film, salah
satu tujuan utamanya adalah untuk tidak membingungkan penonton. Akan ada saat-saat di mana anda ingin
membingungkan mereka, tetapi jika anda tidak memberi mereka informasi, maka
mereka dituntut menghabiskan waktu untuk mencari tahu. Secara tidak disadari,
anda telah mengalihkan pikiran mereka dari karakter dan ceritanya.” (Brown,
2011)
Kebingungan menjadi persoalan
fundamental, sehingga apa yang penulis rasakan terhadap film ini seperti
setengah-setengah berbicara politik.
Diferensiasi akan aturan, tata tertib, dan segala hal yang diatur akan
bergantung bagaimana ideologi dari lembaga pendidikan tersebut menancapkan
pengaruhnya sekaligus membingkai sebuah kontrol dan restrukturasi atas konstelasi
relasi kuasa di dalamnya. Ada beberapa asumsi mengapa Qorin terlihat sangsi mengeksplisitkan pesantren: (1) pesantren
harus dijauhkan dari konotasi mistik dan percakapan kegaiban, khawatir
pesantren diidentikkan dengan cerita gaib dan irasional karena film ini
dibangun dalam konvensi genre horor, di mana ini mengarah pada stigma
destruktif yang membaluti genre ini dalam selera kebudayaan populer; (2) efek
domino dari beban politik pencitraan pesantren lagi? Kalau yang terjadi opsi
kedua, bisa jadi tidak hanya sampai sebatas ragu-ragu menyebut pesantren,
tetapi malah jadi ‘malu-malu’ menyoraki seorang kiai—yang sebenarnya ada—yang
jalang dan cabul di negeri ini?
Assalammu’alaikum Penghuni Neraka: Kiai Boleh
Dong Masuk Neraka?
Selama berurusan dengan yang namanya
‘ulama’, negeri ini bisa panas-dingin dan terbelah karena cara interpretasi.
Barangkali, jutaan simpatisan umat terhadap kiai dan keturunan-keturunannya
malah menciptakan peningratan dan relasi kuasa yang jauh lebih terasa humanis
bahkan organik. Subordinasi oleh darah biru keluarga pesantren memang tampak
latif, toh yang dikuasai juga dengan kesadaran—palsunya—menerima itu sebagai
sikap cinta terhadap ulama. Pada intinya, segala bentuk penguasaan dan
pengontrolan oleh elite pesantren dapat terjadi karena memang disponsori oleh kelompok
orang yang bersedia merendahkan diri—sebagai murid atau umat yang butuh ulama
sebagai pedoman. Sialnya, kalau siapa pun kiai yang disponsori untuk berkuasa
itu, malah mengorupsi kepercayaan itu untuk berbuat kebejatan. Qorin mencoba menubuhkan permasalahan
itu ke dalam tokoh fiksi Ustaz Jaelani yang sedang memegang tampuk kepemimpinan
lembaga. Penghormatan pada ulama menjadi utama, tetapi memang searifnya tidak
dengan mengorbankan kesempatan berpikir yang rasional sekaligus kritis terhadap
setiap laku yang perlu dikritisi dari subjek ulama.
Teror-teror supernatural dalam Qorin dikendalikan di bawah daulat
simbol tertinggi dalam tradisi dunia pesantren, yakni: kiai. Dalam konteks film
Qorin, kiai ini merujuk kepada kiai
pengganti—istilah atau pelabelan penulis
sendiri—yang bernama Ustaz Jaelani yang mengisi posisi subtitutif selama Kiai
Mustofa (Pritt Timothy) yang adalah mertuanya sendiri raib secara misterius. Seharusnya
sineas Qorin berani menjadikan kiai
sebagai sumber petaka dan musibah yang berefek samping tidak main-main bagi
murid-murid perempuannya. Mengapa tidak Kiai Mustafa saja sebagai kiai utama?
Malah Ustaz Jaelani yang malah menantunya, bukan anak kandungnya? Kenapa harus
menantunya? Kenapa hanya sekadar
guru, bukan kiai tertingginya saja sekalian?
Pemilihan dan penyebutan oknum sebagai ‘guru agama’ dibandingkan langsung
merujuk ‘kiai’ ini juga terlihat politis. Ini bisa dianggap sebagai sikap ‘cari
aman’ sineas agar tidak menciderai citra kiai. Kasus pelecehan seksual di
pesantren adalah sebuah keniscayaan dan beberapa kasus didalangi kiai nomor
wahidnya di pesantren tersebut. Pewartaan media massa nasional secara repetitif
telah menunjukkan lembaga agama semacam pesantren di dunia nyata masih
menyimpan ranjau dan ancaman seksual yang harus mendapat penanganan darurat,
dan semestinya data-data ini menguatkan perlawanan yang persisten dalam meramu
konflik Qorin.
Timbul pertanyaan di benak penulis,
apakah jangan-jangan kecanggungan menceritakan kiai yang pantas ‘masuk neraka’
terlalu ganas dan memantik jiwa-jiwa gampang meradang publik Indonesia sewaktu
berdempet dengan sentimen keagamaan? Terlalu rendahkah padanan kata ‘neraka’
dengan konsep kemuliaan ‘kiai’? Toh
mereka hanya manusia, bukan sesuci dan sepantaran nabi. Idiom ‘neraka’
tidak serta-merta muncul secara intuitif dalam ulasan penulis kali ini. Film Qorin sendiri yang menyentakkan kata
‘neraka’ dalam sepotong dialog sangat berkesan, di saat kata salam satu ini
menjadi angker setelah popularitas Qodrat
(2022) dengan Assalammu’alaikum,
Ustaz Qodrat dan disusul Qorin dengan
Assalammu’alaikum, Penghuni Neraka.
Satu potongan dialog film Qorin yang sarkas dan sepatutnya bisa
dijadikan kendaraan menghajar oknum yang selalu teduh oleh payungan politik
pencitraan pesantren adalah: “Assalammu’alaikum,
Penghuni Neraka!”. Selorohan santriwati kerasukan bernama Icha kepada Zahra
itu sangat organik meninggalkan kesan mendalam, bersama koreografi kayangnya
yang menjadi ikon, slogan, dan diangkat menjadi visualisasi poster resmi film Qorin sendiri. Semestinya, pengadeganan tersebut diperuntukkan bagi Ustaz
Jaelani yang lagi berkuasa sebagai kiai utama pesantren itu sendiri—jadi utama dong toh kiai Mustofanya lagi abstain.
Kalau saja sineas Qorin menempuh pilihan
dialog ‘penghuni neraka’ untuk dicampak ke muka Ustaz Jaelani, hal ini akan
jelas lebih mewakili kegeraman publik dalam merespon keadaan Indonesia dewasa
ini—berdekatan perilisan film Qorin—yang
ramai kasus pelecehan seksual dilakukan oleh pemimpin pesantren. Kalau dialog
itu terlontar kepada sesama santriwati yang terperangkap dalam ketidakpastian
sejak awal di mana mereka dipaksa mengikuti ujian praktik pemanggilan Qorin,
rasanya terasa menjustifikasi ironikal ke ruang kedap hakikat alias tidak sampai
ke esensi utamanya dan tidak berefek apa-apa, selain hanya sebagai potongan
adegan ‘menjual’ yang bisa dipakai untuk trailer
atau slogan marketing.
Titik tekan utama dari rumus what if atau pengandaian terhadap
adegan “Assalammu’alaikum Penghuni Neraka”
bagi penulis adalah pesan yang
selayaknya lebih bisa menendang oknum kiai yang terbukti mengkhianati komitmen
keimanan dan keilmuannya lewat aksi pencabulannya. Sesuatu yang dapat
diwajarkan bahkan sangat sah untuk ‘merajam’ secara sosial maupun ditindaklanjuti
sampai tataran hukum bagi predator seksual yang berkedok ajaran kesucian. Memangnya ustaz atau kiai tidak boleh masuk
neraka? Narasi Qorin juga sudah
memenuhi kebutuhan penjelas terkait latar belakang dan problematik Ustaz
Jaelani yang pantas saja digelinding ke neraka.
Kemenangan Itu Bukan Politik ‘Buruk Muka Cermin
Dipecah’
Pada babak ultima, kemenangan memang berpihak
kepada rombongan santriwati dan istri Ustaz Jaelani sendiri bernama Ummi Hana
(Dea Ananda) dengan capaian menewaskan Ustaz Jaelani itu sendiri. Teks di hilir
penayangan film Qorin mewakili
komitmen para sineas: Jika kamu atau
orang yang kamu kenal mengalami kekerasan seksual, hubungi Pusat Pelayanan
Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) atau pihak berwajib. Namun
untuk urusan memprioritaskan ‘politik gender’ di atas kepentingan ‘politik
pencitraan pesantren’ secara konstruktif ternarasikan. Akhirnya, Qorin adalah film yang memamerkan
manifestasi agensi perempuan dalam diplomasi perjuangan dalam seni mengelamkan
pesantren sekelam-kelamnya.
Komentar
Posting Komentar