ANOMALI SIKSA KUBUR: ‘APOCALYPTIC-INCOGNITO’ DI TENGAH KEBISINGAN NEGERI SELATAN-SELATAN & TENDENSI MELAWAN KLISE
ANOMALI SIKSA KUBUR: ‘APOCALYPTIC-INCOGNITO’ DI TENGAH
KEBISINGAN NEGERI SELATAN-SELATAN & TENDENSI MELAWAN KLISE
oleh
MOCH. TAUFIK HIDAYATULLAH
Keputusan mengekstrapolasi kepustakaan
naratif horor religi domestik dengan menempuh pendekatan bertutur yang anomali
mengukuhkan Siksa Kubur (2024) sebagai
proyek film horor-religi-psikologi yang tendensius melawan klise. Teksnya menawarkan
rute diskursus keberimanan dalam membernaskan pengalaman mysterium tremendum
et fascinans—frasa yang dicetus
teolog Jerman Rudolf Otto dalam karyanya Das Heilige (The Idea of the
Holy) berkenaan pengalaman insan berhadapan dengan segala hal transenden di
luar kemampuan nalar manusia yang menginspirasi perasaan kagum maupun gentar.
Ketakutan dan keterpanaan menjadi elaborasi kode-kode emosional yang ditebar
sepanjang teks filmnya yang berpilin pada ketidakpastian, kelimpungan, dan dikungkung
nuansa distopia. Pada alinea overture ini, tampaklah Siksa Kubur sebagai
wujud ‘transgresi’ yang berani bercakap di domain rawan. Ceritanya yang
provokatif membawa sensasi melihat manifestasi apokaliptik semu yang ‘usil’
karena terkemas dalam romantika sosial khas negara selatan-selatan—akan dibahas
lebih intensif berikutnya. Menyadari naratifnya berakar di lingkungan yang
seperti apa, Siksa Kubur sedemikian membumi untuk membicarakan siapa, mosi-mosi
gugatannya, dan pertanggungjawaban relevansinya.
Pengalaman menghayati kesungguhan
bertutur dalam film kesepuluh Joko Anwar ini berawal dari sebuah adegan
sederhana dalam materi teaser yang
menimbulkan impresi antusiasme. Sebuah
koloni santriwati berjilbab serba putih melintas beriringan di salah satu sudut
lahan pesantren pedesaan dengan bangunan kuno yang teramat kusam. Gambar
diambil dengan extreme long shot. Sayup-sayup
lantunan “astaghfirullah robbal baroya,
astaghfirullah minal khotoya” mengalun mengiringi bunyi derap tapak kaki
mereka. Sepintas gambaran ini membangunkan
memori kemiripan tentang dua bahasa gambar dalam dua film religi terbaik
yang Indonesia pernah miliki. Pertama, penggambaran jilbab putih lebar yang memutikkan
konotasi tentang kesakralan, pristineness,
dan seolah tersterilkan dari baur kultur modisme dan modernisme. Kedua, kemiripan
pada pelukisan adegan ‘rihlah’ (perjalanan) orang-orang berombongan, di mana
dahulu didetilkan sedang menggotong kubah masjid dari satu titik ke titik lain yang
mata kameranya juga digarap secara long
shot. Adegan-adegan itu terkandung dalam film yang penulis anggap sebagai
salah dua film religi terbaik tanah air, yakni: Rindu Kami Pada-Mu (2004) karya Garin Nugroho dan Kantata Takwa (2008) besutan Eros Djarot
dan Gotot Prakosa. Pantikan atas dua film religi penting di awal milenium itu
menjadi selayang pandang poin kritik bagi Siksa
Kubur. Secara organik, kedekatan nuansa dalam adegan itu adalah apakah cara
semesta mengirimkan petunjuk implisit bahwa agaknya Siksa Kubur layak menyusul mengisi posisi salah satu film religi
penting dalam memperkaya diversifikasi film religi nasional pada paruh dekade
ketiga pasca Orde Baru? Sebagaimana disinggung Thomas Barker dalam Indonesian cinema after the new order: Going
mainstream, reformasi menandai era peralihan terbukanya keran terhadap
ekspresi-ekspresi ideologis yang terestriksi di bawah selera rezim era orde
baru, termasuk ekspresi religi dalam kebudayaan populer. Di saat ekspresi islam
pop di film sedemikian bebas dan masif, upaya untuk merenovasi gaya dan
bereksperimen terhadap produksi narasi film religi menjadi mandek. Kehadiran Siksa Kubur adalah kado romantis di
tengah redundansi produksi—atau sebenarnya reproduksi—film religi secara umum
maupun wabilkhusus horor religi yang
mayoritas mengidap penyakit kronis tentang krisis pembaharuan dan rejuvenasi.
Gambar 1. Adegan
santriwati berjilbab serba putih berjalan di salah satu sudut lahan pesantren
© Come and See Pictures & Rapi Films
Siksa
Kubur menggebrak
konstelasi genre religi domestik dengan suntikan pendekatan yang distingtif
sekaligus berisiko karena berani mengakrabi lokus diskursus yang sensitif
perihal mengimajinasikan dimensi terra
incognita yang dihidupkan dalam kehidupan masyarakat pemeluk Islam bernama
alam barzakh atau alam kubur. Fiksionalisasi akhirat semacam surga atau neraka
maupun alam misteri yang masih tertabir di dimensi transenden dalam ajaran
agama selalu dikerubungi pro-kontra. Dalam limitasi dan ketiadaan metode pengujian
reliabilitas atas visualisasi dimensi tersebut, tiada pilihan selain hanya
mengacu pada referensi petunjuk yang terjangkau dari kitab suci maupun hadis
nabi. Di Indonesia, perkara riskan ini mungkin tidak terlalu strategis
dipercakapkan—setidaknya sampai momen film ini atau sebenarnya sedang mujur terbebas
dari reaksi kontradiktif publik yang destruktif.
Ketika film Siksa Kubur diekspor ke Negeri Jiran, sikap otoritas sensor
Malaysia yang berseberangan dengan visi dan karsa kreatif Siksa Kubur telah menyebabkan tersunatnya beberapa adegan dari
durasi utuh, pembungkaman rapalan kata tertentu, serta diamputasinya kata
‘kubur’ pada redaksi judul yang akhirnya hanya menyisakan satu penggal kata
‘siksa’ semata. Sikap ini rasanya mengafirmasi bahwa fiksi ‘siksa’ tanpa
didempet terminologi komplet ‘siksa kubur’ memang diperuntukkan untuk mencerabut
status ‘religi’-nya sendiri. Bila penulis berasumsi, lembaga berdaulat
menangani sensor Malaysia risau apabila fiksi Siksa Kubur akan mengontaminasi ajaran syariat dan intinya tidak
sepaham dengan versi tafsir representasi kalangan Malaysia. Dari pendahulunya
yang sama-sama mengeksplorasi fiksionalisasi alam transenden, Siksa Neraka (2023) memilih cari aman
dengan menjual filmnya sebagai adaptasi komik legendaris MB Rahimsyah, tetapi
malah dicekal seratus persen untuk peredaran di Malaysia. Bagi penulis, nasib Siksa Kubur yang terjadi di negara
tetangga itu adalah bentuk kesembronoan dan simtom menuju matinya ruang dalam
‘mengiritasi’ dialog-dialog urgensif seputar keberagamaan di ranah populer.
Setidaknya ini menjadi potret faktual dari substansi kritik yang hendak penulis
strukturkan dalam tulisan ini, yakni: apokaliptik di sebuah teritori berkembang
alias ‘selatan-selatan’. Catatan muka ini adalah kiamat pertama dalam tubuh tulisan
ini. ‘Kiamat sosial’ yang telah berkonsekuensi memunahkan heterogenisitas dan
inklusivitas atas kreasi dan estetika, sekaligus membunuh kapasitas tafsir
konseptual sineasnya yang menaruh konsentrasi mengakrabi problematik agama
maupun keberagamaan yang identik dengan subjektivitas personal dan
idiosinkrasi.
Berkisah mengenai Sita (Faradina
Mufti) yang tidak percaya dengan agama pasca terjadinya peristiwa bom bunuh
diri yang merenggut nyawa kedua orang tuanya (Fachri Albar & Happy Salma)
di depan toko roti Gun milik keluarga mereka. Sebuah kaset yang konon merekam bukti
adanya siksa kubur menjadi sebab terstimulinya anarki sang pria martir
misterius (Arfian Arisandy) untuk menjalankan pengeboman demi terbebas dari
siksa kubur dengan ‘berperang di jalan Tuhan’. Tujuan hidup Sita kemudian
adalah memburu orang paling berdosa di mana sewaktu orang itu wafat, Sita akan
ikut menguburkan dirinya di liang lahat yang sama untuk membuktikan bahwa siksa
kubur itu hanya cerita isapan jempol. Sita menjalankan misinya dibantu oleh
adiknya bernama Adil (Reza Rahadian) notabene seorang pekerja di rumah duka
yang mengalami aksi pelecehan oleh seorang oknum yang dikenal bereputasi soleh
bernama Wahyu Sutama alias Ilham Sutisna (Slamet Rahardjo). Setelah ikut menguburkan
diri di dalam liang lahat Wahyu Sutama, kehidupan Sita berubah drastis dan
diliputi segala peristiwa yang kacau-balau. Diam-diam, segala kekacauan itu
adalah buah dari siksa kubur yang ditagih dan ditantang validasinya selama ini.
Siksa kubur yang berwujud apocalyptic-incognito
di mana Sita sendiri bahkan tak menyadari tengah menjalani apa yang
didesain sineasnya sebagai ‘siksa kubur’.
Bagi penulis, Siksa Kubur adalah film apokaliptik yang dibangun dalam latensi
atau sembunyi-sembunyi berkisah tentang kiamat. Siksa Kubur bukan film kiamat dengan pendekatan bencana yang makro
mendominasi durasi, maka dari itu perlu label ekslusif untuk menyebutnya apocalyptic-incognito yang bermakna
kiamat yang berlangsung sembunyi-sembunyi, penuh ilusi, distorsi, dan bahkan
berusaha tidak terkenali sebagai konvensi subgenre apokaliptik. Film ini bukan
berarti hanya berkutat pada apokaliptik yang simbolis dan alegoris, Siksa Kubur sebenarnya turut menampilkan
kiamat yang harfiah dalam gambaran huru-hara sosial berbuntut vandalisme yang
disulut oleh merebaknya bukti rekaman siksa kubur. Perkotaan menjadi penuh aksi
pengrusakan, porak-poranda, api berkobar di mana-mana sampai menjinggakan
langit malam dari kerlip jago merah.
Secara
jenius, Joko Anwar meracik ‘bahasa dakwah’-nya dengan mengonstruksi apokaliptik
di babak ketiga film ini. Alih-alih masyarakat bergegas mencapai ‘pertaubatan
kolosal’ karena bertebarannya rekaman dari alam kubur sebagai validasi adanya
penyiksaan bagi pendosa, kontras yang
terjadi adalah ‘kehebohan kolosal’ dan menunjukkan kiamat tercanggih dalam
polemik warga di sebuah negara selatan-selatan bernama Indonesia. Konflik Siksa Kubur benar-benar terikat konteks
spasial untuk pertaruhan derajat relevansinya. Pada titik tekan ini, tampak
kesungguhan dan penghargaan sineasnya membumikan lingkungan tempat konflik
berlangsung secara kontekstual. Demi mencapai pertaubatan—yang penuh kesamaran
dan tidak frontal itu—Siksa Kubur berkeliling
membawa wacana apokaliptik yang ‘selatan’. Sekali lagi, apa yang ditampilkan
sebagai apokaliptik baik secara simbolis maupun harfiah adalah sebuah kado
manis untuk masyarakat yang disebut penyair dan fenomenolog agama Mircea Eliade
sebagai Homo Religiosus sebagaimana
di Indonesia.
Dunia Siksa Kubur adalah arsitektur dialektika yang nyawanya mengakar di
negara berkembang, setidaknya tanda-tanda sepanjang film yang memandu simpulan
kritik ini yang akan dijabarkan lebih lanjut. Dalam vonis singkat, porsi Siksa Kubur mengandung isu-isu yang kiri
tentang alienasi dan kemiskinan dengan pendulum yang hampir mengayun mendekati
kutub sosialis yang ‘kiri’—namun tidak ditemukan indikasi kuat untuk menyebutnya
tulen sosialis, sekaligus diajak ‘sangat kanan’ antara untuk memvalidasi
genrenya atau pun spirit bercerita dan proses risetnya yang didesain meleburkan
genre religi. Hal ini turut mendecakkan skeptisme, apakah pertalian antara apocalyptic-incognito dan kebisingan
publik di negeri selatan-selatan ini terjadi secara organik atau pretensius?
KACAU-BALAU REALITAS & APOKALIPTIK
YANG SEMU
“Dunia sudah berubah Sita. Karena
kamu…” Demikian ungkapan ibu kepala Panti Jompo bernama Juwita Larasati (Niniek
L. Kariem) kepada Sita yang terperangah di hadapan layar televisi panti jompo yang
menayangkan kegemparan dan kerusakan massal di mana-mana. Kehidupan masyarakat luas
tengah diguncang turbulensi, berubah secara dramatis oleh sikap kontroversial
Sita yang memamerkan nihilisme siksa kubur bermodalkan rekaman handycamp di sebuah program media arus utama. Pemakaian diksi ‘dunia’ sangat bombastis,
tetapi mewakili sebuah maksud atas perubahan skala masif yang dramatis. Disinggung
oleh Karen A. Ritzenhoff & Angela Krewani dalam The apocalypse in film: Dystopia, disasters, and other visions about
the end of world bahwa tidak ada batasan dalam memahami kiamat yang mutlak,
termasuk berkompromi untuk sepakat bahwa kiamat bisa saja terjadi kendati pada
satu negara semata, zona yang lebih sempit, atau kasus maupun konteks spesifik.
Apokaliptik
senantiasa dilihat sebagai bencana alam, invansi alien, zombie, malapetaka
kepesatan teknologi yang menggerus humanisme, genosida maupun kejahatan perang,
serangan wabah, maupun juga apokaliptik dalam konteks fenomena spesifik seperti
post-9/11 sebagaimana dibahas oleh John
Walliss dan James Aston dalam Doomsday
America: The pessimistic turn off post-9/11 apocalyptic cinema. Beragam bidang studi terkait film
apokaliptik didominasi oleh keterbelahan melihat kiamat sebagai eja wantah
berbasis alkitabiah/biblikal atau kiamat yang sekuler. Meskipun terpolarisasi
menjadi dua tipe, Roslyn Weaver dalam buku Apocalypse
in Australian fiction and film: A critical study menegaskan dalam kiamat
sesekuler apa pun tetap tidak dapat menampik eksistensi dari logika agama,
serta meninggalkan simbol keagamaan. Argumentasi ini setidaknya disokong oleh
premis bahwa referensi agama akan hadir dalam film sebagai kemutlakan karena
bagian dari kehidupan masyarakat yang diceritakan, sebagaimana disorot oleh Guy
J. Golan & Anita G. Day dalam artikel jurnal In God we trust: Religiosity as
a predictor of perceptions of media trust, factuality, and privacy invasion.
Bergeser dari rujukan studi
apokaliptik barat yang kerap mengacu pada referensi biblikal, maka Siksa Kubur yang selaras tendensinya
berpijak pada kepercayaan Islam akan memahami konsep apokaliptik dari dunia
kemusliman yang menganut kerangka berpikir tersendiri. Kiamat dalam Islam tidak
sekadar merujuk pada mega bencana akhir zaman yang dinamakan kiamat kubra,
melainkan juga bentuk kiamat kecil atau sugra
berupa berakhirnya kehidupan sejumput makhluk hidup, atau pada peristiwa
kematian.
Apocalyptic-incognito dalam Siksa Kubur merujuk pada kiamat yang
multifaset, meliputi: apokaliptik atas kematian Sita yang diumpet sang sineas
sejak ia menguburkan dirinya di liang lahat Wahyu Sutama; apokaliptik dari
kehancuran dunia yang dipicu Sita akibat tindakan sensasionalnya dalam imaji
rangkaian siksa kubur yang menderanya dan sebenarnya masih di luar jangkauan
apa yang bisa Sita pahami tentang realitas di hadapannya; dan terakhir adalah
apokaliptik holistis yang mengunjukkan kehancuran Sita secara paripurna yang
juga masih dibuat limbung dan bingung sewaktu di akhir narasi disodori
pertanyaan man rabbuka disertai paras tegang dengan mata
Sita terbeliak. Ia menyangka sudah bebas dari kiamat, rupanya ada kiamat dalam
kiamat, realitas dalam realitas, kesemuan dalam kepalsuan.. Semua kiamat dijahit dalam
ketidaksadaran sebagai satu-satunya modal utama untuk sadar bahwa ini kiamat.
Sita sendiri tak menyangka kapan dan paham bagaimana kematiannya, antara
dipatok ular yang menembus permukaan tanah, kekurangan oksigen seperti kata
psikolog di televisi yang memancing halusinasi; bahkan kiamat diletakkan di
antara kesangsian halusinasi atau sadar.
Apokaliptik
yang berlangsung incognito dalam Siksa Kubur semakin rumit saat
diperkenalkan melalui cara kerja genre horor psikologi yang memiliki prevalensi
kanon tersendiri yang distingtif. Realitas palsu yang sempat mengelabui dalam Siksa Kubur terasa mendekatkan suasana
realitas sarat distorsi seperti yang pernah terjadi dalam film-film produksi
negara selatan-selatan lain, sebutlah Television
(2002) karya Mostofa Sarwar Farooki dari Bangladesh, No Smoking (2007) karya Anurag Kashyap dari India, dan Timbuktu (2014) karya Abderrahmane
Sissako dari Mauritania. Di antara beberapa kerangka teoretis yang memungkinkan
untuk menggali keterjawaban dari apa yang Sita alami dengan distorsi realitas
untuk menjelaskan siksaan kuburnya, adalah buah pikiran dari seorang ahli
psikoanalisis Swiss bernama Carl Gustav Jung. Legasi pemikirannnya bahkan telah
diterapkan ke dalam dunia kajian film dan bahkan membentuk tradisi Jungian Film Studies. Disebutkan oleh
Luke Hockley dalam The Routledge international handbook of
Jungian film studies. Studi Jung tentang film bukanlah area kajian yang
sepenuhnya kontemporer, sebab sejak tahun 1979 artikel Jung/Sign/Symbol telah terbit dalam Quarterly Review of Film and
Video. Momen itu dianggap
bersejarah karena untuk pertama kalinya gagasan dan pemikiran Jung hadir di
halaman jurnal teori film secara akademis. Namun, jauh sebelum itu, para sineas
sebenarnya telah lebih awal ‘menemukan’ Jung dan memengaruhi karya-karya
filmografi mereka, seperti pembuat film dokumenter Basil Wright, juga ada
Federico Fellini, Ingmar Bergman, Dario Argento, dan sebagainya.
Terdapat
konsep penting yang dapat diterapkan untuk membaca dinamika kehidupan Sita yang
diamuk realitas apokaliptik yang berlangsung di luar kendalinya secara laten,
yakni: individuasi dan ketidaksadaran kolektif. Konsep ini berkelindan dalam
negosiasi dan percakapan tentang ignoransi beragama ala Sita yang mengekalkan
kekelaman figur dirinya untuk mempertahankan tujuan hidup absurd yakni mencari
orang paling berdosa dan menonton pertunjukan siksa kubur bagi pendosa
tersebut. Di antara guliran kehidupan Sita, berlangsung perdebatan yang kian
menabalkan sisi arogansinya untuk menantang adanya siksa kubur—secara tidak
langsung menantang bahwa agama itu hanya omong kosong.
Individuasi
menjelaskan rangkaian proses gradual yang membutuhkan waktu dalam proses
pengembangan diri seseorang, di mana ia aktif menyeleksi, menyerap, dan
mengintegrasikan segala aspek yang didapat dari sekitarnya dalam rangka
membentuk kepribadian yang seimbang dan harmoni—dalam perspektifnya. Proses ini
dapat disebut sebagai fase pertumbuhan psikologi maupun ‘kesejahteraan’ dalam
hidup. Persilangan pendapat dengan beberapa tokoh sepanjang film baik
percakapan dengan Adil, Wahyu, Juwita, maupun interaksinya dalam mengonsumsi
konten media baik di televisi, internet, dan surat kabar adalah gambaran proses
individuasi yang konsisten sepanjang film. Kecamuk perdebatan di pusaran rasionalitas,
sekularitas, dan ateisme pada akhirnya membentuk resitansi Sita yang hanya
mendukung ignoransinya untuk tidak percaya agama. Semua kembali pada tragedi
memilukan bom yang menewaskan kedua orang tua Sita, di mana individuasi
berlangsung dalam standar yang eklektik. Sita hanya menerima dan menyerap
segala pola yang sekiranya berada di luar spektrum traumatisnya yang membuatnya
menjadi yatim piatu sejak remaja. Dalam frekuensi yang sering Sita menyeleksi
terpaan informasi yang hanya melegitimasi tentang pengutukan atas oknum peledak
bom bunuh diri yang takut siksa kubur yang lalu dicapnya mampu menyebabkan
terjadinya hal-hal gila.
Dengan
melihat prevalensi dari individuasi lalu dikontraskan dengan rubuhnya segala
ekspektasi yang termapankan dari hasil individuasi tersebut, maka apocalyptic-incognito yang menerjang
Sita dapat dikenali. Segala pengetahuan sebelum ia menguburkan diri selalu
digambarkan menunjang kepuasan pengetahuan yang Sita punya dan menghasilkan
kehidupan yang ideal. Dunia Sita terbalik setelah masuk fase siksa kubur,ditandai
dengan ia yang keluar dari kuburan oleh Adil dan merasa puas karena tak
menemukan siksaan apa-apa dari dalam kuburan Wahyu. Kehidupan Sita mulai
berubah di mana segala realitas serba kacau-balau. Panti jompo berantakan, duo
pasangan romantis Nani-Pandi bertengkar dengan Pandi berselingkuh dengan Suster
Lani (Runi Rudiyanti) bunuh diri, kemunculan penampakan arwah Wahyu dengan
suara-suara dan putaran kaset Bengawan
Solo secara gaib, dan Nani tewas terjepit dalam mesin cuci pinatu.
Ketidaksadaran kolektif merujuk pada
adanya elemen-elemen fundamental dari diri manusia yang diwariskan dan bersifat
universal dan diketahui dalam lingkup bersama, tidak sekadar dalam kapasitas
individu. Didalamnya terdapat arketipe yang merupakan bentuk, pola, maupun
citra universal yang hadir berkali-kali dalam bermacam kebudayaan dan linimasa
sejarah, di mana hal tersebut menjadi simbol-simbol dasar yang membentuk cara
manusia memahami kehidupan dan dunianya.
Dalam konteks yang agak berpolemik, konsep ketidaksadaran kolektif bisa
dipandang sebagai pengetahuan galib yang diwariskan secara kolektif, tepatnya
adalah bagaimana residu memori tentang keberagamaan juga membantu Sinta kembali
‘pulang’ kepada kepercayaan meskipun di waktu yang terlambat. Di tengah
keterdesakan menonton siksaan fisik mayat Wahyu yang dipalu berduri hingga
dicabik ular, Sita meronta meminta pertolongan. Sayup-sayup gema orang-orang
yang menuntunnya beristigfar menjadi wujud dari ketidaksadaran kolektif yang
sekiranya mampu dilakukan Sita sebagai prosedur untuk insyaf—meskipun sekali
lagi terlambat.
Di tengah kehancuran dan penyiksaan
kubur alias apokaliptik Sita yang disadarinya di babak penghujung, bocornya
resonansi pemandu taubat menjadi siasat menarik dari Joko Anwar tentang celah
restorasi. Hidayah bagi Sita tetap dipersiapkan dan diapresiasi minim di tengah
apokaliptik atau mensahihkan apa yang disebut oleh Alice Bennett dalam Literature and the afterlife bahwa fiksi
memungkinkan sebuah babak pemulihan dari apa yang teramat mustahil terjadi di
kehidupan nyata. Kehadiran momen yang disebut Joko Anwar sebagai interaktivitas
dalam rupa teks astaghfirullah rabbal
baroya, astaghfirullah minal khotoya di
marjin bawah layar untuk mengajak audiens berlafaz secara kolektif adalah ide
yang langka dan unik. Turut pula memberikan penegasan tentang Siksa Kubur yang mengakomodir teori film
apokaliptik tentang pemberian harapan kedua setelah gulungan kiamat, tetapi
kembali patuh bahwa apokaliptik Siksa
Kubur tunduk di bawah basis wawasan alam barzakh yang mengedepankan pedoman
Ilahiah—artinya dipastikan tidak ada keselamatan bagi Sita tetapi tetap
menggambarkan harapan. Senada dengan yang diutarakan oleh Kim Newman dalam Apocalypse movie: End of the world cinema:
“… bahwa ada pesan kiamat yang ganda dan kontradiktif: “pada saat yang sama, umat manusia dapat dan harus mengatasi keterbatasannya sendiri dan bahwa umat manusia sangat menginginkan keselamatan melalui sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. […] Meskipun fiksi sekuler mungkin mengabaikan keilahian, fiksi tersebut tetap menunjukkan pengaruh gambaran dan tema kiamat dalam Alkitab. Para penulis apokaliptik sekuler sering kali menempatkan cerita mereka di masa depan, hampir berfungsi sebagai nabi yang memperingatkan peristiwa yang akan datang. Meskipun kitab Wahyu meramalkan penghakiman di masa depan untuk mendapatkan tanggapan yang tepat, fiksi apokaliptik juga bisa menggambarkan masa depan suram yang dimaksudkan untuk memancing tindakan saat ini. Penulis mungkin meneliti isu-isu sosial dan lingkungan, menggunakan masa depan yang gelap untuk mengkritik kondisi terkini…”
Ditilik secara ontologi, dengan mengerti
pembawaan teks Siksa Kubur adalah upaya
memahami puzzling dari realitas yang
kelihatan runut, tapi sebenarnya sengaja dilebur, diacak, dan dibaurkan tanpa
ada batas-batas yang jelas. Kiamat dalam logika kerja horor psikologi Siksa Kubur adalah semua realitas yang
ditatap Sita sebagai apokaliptik personal dalam dunia yang terkonfigurasi dalam
alam bawah sadarnya, entah apa konsep yang tepat mewakili post-life ini terkhusus berpenetrasi pada konsep kepercayaan Islam
atas dimensi pasca kehidupan. Ambang kematian dan kehidupan jadi samar, segala
realitas terdistorsi yang keseluruhannya ditujukan untuk upaya menemukan hakikat
spiritualitas yang abstrak. Mengutip dari apa yang ditelaah seorang ahli film
yang menekuni Jungian film studies dan
dsytopian-film Helena Bassil-Morozow:
“Seperti
halnya jiwa, sinema adalah penggambaran realitas yang bersifat perkiraan dan
terdistorsi, bukan representasi sebenarnya. Selain itu, meskipun secara fisik
menjadi penghalang, layar juga merepresentasikan ketiadaan penghalang antara
fantasi dan kenyataan […] Tema utama dari media layar adalah pengaburan semua
batasan (sebuah taktik khas postmodern); hal ini mencakup batasan antara
fantasi dan kenyataan, antara penonton dan film, antara genre, antara kode
sinematik dan sub-kode, dan antara berbagai aspek narasi. Kaburnya batas-batas
ini semakin mengakibatkan hilangnya realitas yang 'sebenarnya'. […] Sebuah
fenomena relativis yang mampu menciptakan plus menghapus realitas, gambaran
bergerak adalah ketidakkekalan; bukti pamungkas atas ketiadaan bukti pamungkas.”
EULOGI BAGI ANOMALI: MATRIKS MAKNA
BARU BAGI FILM HOROR RELIGI
Kritikus film ternama Perancis André
Bazin menyebut dalam bundelan tulisannya yang disunting Bert Cardullo menjadi
buku Bazin at work: Major essays and
revies from the forties and fifties tahun 1997 menyebutkan bahwa sinema
masih selalu tertarik pada Tuhan beserta dinamika dan romantika yang
dikatalisasinya. Pesona film religi agaknya memang sedemikian menggoda bagi
industri perfilman tanah air. Penulis merasa puas saat Siksa Kubur menggulirkan naratif dan representasi yang tidak muluk-muluk. Film ini meskipun
dipromosikan sebagai perenungan beserta digembar-gemborkan alasan penayangannya
di musim lebaran karena kecocokan genre religinya dengan momen idulfitri,
nyatanya tetap memilih urung mengikuti jargon ala Orde Baru untuk ‘menjadikan
tontonan sebagai tuntunan’ yang digarisbawahi Krishna Sen dalam buku Kuasa dalam sinema.
Salah satu adegan signifikan dalam Siksa Kubur adalah dialog antara Sita
remaja (Widuri Puteri) dengan Ustazah Ningsih Chodijah (Jajang C. Noer). Kata
“percaya” menjadi sangat bermasalah, di sana nyawa dari sebuah iman
dipercakapkan. Secara dogmatis keimananan sebagaimana disinggung Ustazah
Ningsih, “Iman itu percaya tanpa ragu.” Namun akan terasa bermasalah dan
bersengkarut saat situasi dijejali pertanyaan lanjutan dari Sita, dan pemuka
agama menodong dan siap mengokang senjata andalan, “Kamu salah bertanya!” Seakan-akan
tidak ada akuntabilitas ilmiah dalam segala jawaban yang—meminjam kutipan
agamawan dan rohaniawan Islam sebagai—gaib sebagai pengetahuan misterius yang
masih tersimpan rapat di Arsy Allah, melampaui realitas yang mampu
tercandra indrawi, dan ini menjadi kritik tajam bagi institusi agama dalam
melayani diskursus yang disokong oleh keterbukaan dan asertivitas. Energi
serupa dipakai Joko Anwar untuk mengaduk skeptisme atas keberimanan dalam
labirin naratif yang bersimpang-simpang. Kini audiens yang memutuskan, apakah
tetap berkeliling mencari ruas jalan, atau memilih salah satu, salah dua, atau
salah tiga terhadap ujung jalan dari labirin. Mungkin bukan labirin, kita
pinjam metafora dari dunia Siksa Kubur: terowongan.
Entah terowongan itu punya kepastian akan titik cahaya yang mencerahkan di
ujungnya atau malah terus saja diliputi ketidakjelasan maupun ketidakpastian
dan di tengah-tengah malah bertemu enigma lain yang membuat rumit? Bagaimana
yang tepat menindaklanjuti anomali ‘kepercayaan’ ini? Akankah , atau bukan
tidak percaya, melainkan ‘belum percaya’ sebagaimana Sita awalnya menyangkal
siksa kubur lalu memilih percaya setelah menyaksikan rangkaian realitas di luar
realitas yang disadarinya.
Gambar 2. Percakapan Ustazah Ningsih Chodijah
dengan Sita yang sengit seputar siksa kubur
©
Come and See Pictures & Rapi Films
Sebagaimana apa yang penulis terakan di awal bahwa Siksa Kubur mengandung anomali-anomali yang menyenangkan, maka keputusan mengalokasikan pendekatan nuansa dunia distopia adalah taktik jitu. Energi distopia juga mengampu fungsi penting dalam ‘mendewasakan’ naratifnya. Film religi selayaknya pula ikut mendewasakan tanpa selalu ‘menggandeng’ dan membanalisasikan dikotomi biner ‘benar dan salah’, tetapi memberikan rambu dan kesempatan aktif berkeputusan. Melalui pendekatan distopia sebagaimana diulas Era A. Loewenstein dalam Dystopian Narratives: Encounters with the Perverse Sadomasochistic Universe:
“Distopia: Mengaburkan perbedaan antara yang baik dan yang buruk di mana menunjukkan bahwa metode mendasar dari penyimpangan adalah penciptaan kebingungan, terutama kebingungan antara “baik” dan “buruk”…”
Penulis menghargai benar sikap
sineasnya lewat film ini. Siksa Kubur mencoba
mensterilkan residu ala otoritas Orde Baru yang dulu menjengkelkan lantaran
memangkas keautentikan pengalaman berkarya sekaligus mendikte karsa dan sikap
sineas atas karya mereka. Tidak ada absolutisme dalam tubuh naratif ini untuk
diserap sebagai pesan. Bila diumpamakan, penulis merasakan sambutan Siksa Kubur dengan sensansi yang berbeda
dari film horor religi kebanyakan. Seusai menyaksikan, film ini seakan mengajak
audiens bersulang, tetapi tidak memaksakan suguhan yang disulang itu harus
diseruput, melainkan bisa saja untuk kemudian diterlantarkan atau justru
dilepeh saja sesuai selera. Sebuah keputusan yang asertif dan menggelitik.
Pengalaman menonton Siksa Kubur adalah
level pengalaman spiritual penonton dengan karya yang subur diskursif dirayakan
dan terbilang jarang timbul, terlepas saat dengungan penonton kanan-kiri di
studio penulis mencibir, “Hah, siksa kuburnya cuma segitu tok, cuma beberapa
menit?” Sekalipun slogan filmnya berbunyi “anda akan percaya”, deklarasi itu tampaknya masih belum
final. Lewat Siksa Kubur, menyembul
matriks makna baru yang memungkinkan dijadikan opsi eksperimental bagi proyek
produksi film religi Indonesia ke depannya. Lapis-lapis realitas yang kabur
dalam Siksa Kubur menciptakan matriks
makna yang tumpang-tindih, membiarkan sebuah percakapan yang lentur dan
membedakan dari film horor religi kebanyakan dengan dakwah yang purposif dan
kental secara verbal. Demi mencapai derajat ‘kepercayaan’ sebagaimana jargon
utamanya, film ini tidak kikir menyodorkan posisi tunggal dalam memahami
keberimanan, bahkan bermurah hati membiarkan otonomi opini dengan
desentralisasi atas ‘kebenaran’.
Penonton dilatih ‘berjudi’ dengan isi
kepalanya sendiri, tetapi di situ juga menjadi wahana penggemblengan penalaran.
Di saat film horor religi lain, semisal, andalkan ruqyah yang serba
memenangkan, maka tanpa atraksi pengobatan syariah itu, Siksa Kubur melecut nyali penonton lewat relung-relung psikologis,
sekaligus nalarnya. Ada gedoran besar di pintu studio untuk mengajak penonton
diam-diam—atau incognito itu
sendiri—untuk berfilsafat. Setiap jawaban terkristal dalam kepala masing-masing
penonton yang hendak menjawab, bisa ada, bisa tidak. Setidaknya itu yang
dipandu film Siksa Kubur hingga akhir
pertunjukan, sekaligus menantang keberimanan audiens dalam mengiritasi derajat
kepercayaannya. Sebuah cara mendewasakan film horor religi tanpa didaktis dan
menjunjung tinggi asertivitas audiensnya, serta menjadi eviden atas tendensi
melawan klise dalam tren film horor religi.
Siksa
Kubur (2024) rasanya juga berkontribusi menjadi panasea di tengah kegaduhan
genre yang sempat dirongrong karena dianggap berkali-kali mendiskreditkan
ritual ibadah salat, bahkan terletup anekdot tentang salat cinematic universe dan sejenisnya. Sekalipun tidak di tataran
yang serba sempurna, penulis menabalkan film Siksa Kubur adalah manifestasi superlatif atau level tertinggi bagi
kualitas narasi film horor religi—pastikan ‘horor’ dan ‘religi’ dalam satu
konsep yang manunggal dan tidak terpisah—kepunyaan tanah air yang sejauh ini
sanggup mengelevasi kualitas hingga melampaui status quo tentang beberapa
aspek.
Joko Anwar menggarap proyek genre yang
agaknya jauh dari pencirian profil filmografinya terdahulu. Religi menjadi
domain yang prospektif untuk menjadi wahana seorang Joko Anwar bereksplorasi
dalam proses bertumbuhnya secara kekaryaan, intelektualitas, dan penganut
keyakinan yang berproses dalam pendewasaan mencerna isu-isu rumit, provokatif,
juga riskan—menyangkut keberagamaan—di bentang layar. Genre horor religi tidak
serta-merta meracaukan navigasi idealisme seorang Joko Anwar dengan
distingsinya, sehingga apa yang dapat ‘terbaca’ dari Siksa Kubur jelaslah horor religi ‘rasa Joko Anwar’ dan bukan Joko
Anwar yang ‘dihoror-religikan’ dengan resep yang telah mapan, dan itu tetap
konsisten yang memperlihatkan kemesraan Joko Anwar terhadap private-auteur-nya. Apa yang terungkap
lewat teks Siksa Kubur barangkali
adalah refleksi selektif dari seorang Joko Anwar memaknai Siksa Kubur tanpa dengan intensional melupakan kebermainannya dalam
mengolah kelak-kelok cara bertutur. Joko Anwar sangat romantis, terkhusus dalam
‘mengimani’ kecintaannya pada ide dan karsa liarnya. Meminjam apa yang diungkap
maestro film sang penguasa surealisme berkebangsaan Italia Federico Fellini, “All art is autobiographical, the pearl is
the oyster's autobiography” (Walter, 1965). Profil film-film Joko Anwar
sejauh ini terbilang berjarak dari genre religi—terlepas dari semesta fiksi A Melancholly is A Movement (2015) karya
Alm. Richard Oh yang mengisahkan sang Joko Anwar bakal garap film religi itu.
Benarlah Fellini, sebagaimana film
menjadi ekspresi mendalam dari visi pandangan hidup kreatornya, maka Siksa Kubur adalah penampakan atas
penghayatan Joko Anwar terhadap kehidupan sosial dan ‘kematian sosial’, toh ada
embel-embel kubur juga meruncing pada ihwal kehidupan di fase post-life bukan? ‘Kematian sosial’ lebih
memperlihatkan sebuah carut-marut dalam masyarakat yang penuh konflik,
lenyapnya batas-batas kompromi, raibnya peluang rekonsiliasi, tercerabutnya
aspirasi atas supremasi piranti dalam mencapai kebenaran dan kebijaksaan, dan
yang tersisa hanya ketidakadilan. Sebagai konteks spasial, Joko Anwar peka
menempatkan lingkungan Indonesia sebagai negara berkembang, maka pusaran
permasalahan tidak lepas dari persoalan kesejahteraan, bahkan dalam
bersinggungan pada isu-isu menjalankan keberagamaan. Siksa Kubur berdempet pada persoalan khas negara selatan-selatan,
juga dalam runutan perbincangan kelas ekonomi, keberagamaan, dan kristalisasi
keputusan atas matematika untung-rugi dalam hidup tersebut. Anomali dari
sesuatu yang disebut tertib sosial, atau dalam padanan lain, sebuah kondisi
sosial yang ideal adalah apa yang Joko gambarkan dalam dua dimensi yang tidak
terlalu kentara pemisahnya, antara dunia kehidupan dan dunia pasca kehidupan. Apokaliptik
yang laten itu berhimpitan dengan setali tiga konsep lain: uang, agama, dan
‘kita yang selatan’ (baca: berkembang).
SETALI
TIGA (ANTARA) UANG, AGAMA DAN ‘KITA YANG SELATAN’
Siksa
Kubur begitu vokal dengan permasalahan yang sangat ‘selatan’. Istilah ‘selatan’
digunakan dalam konteks ekonomi dan politik global untuk menunjuk kepada
negara-negara di taraf berkembang atau yang kurang berkembang, di mana yang
sebagian besar terletak di belahan bumi selatan, meskipun pemahaman ini tidak
terbatas pada lokasi geografisnya. Istilah ini sering digunakan sebagai oposisi
dari "Negara Utara" yang adalah pada negara-negara maju, seperti di
Eropa, Amerika Utara, dan sebagian Asia. Sejak semula, judul utama tulisan ini
tidak dipilih impulsif, melainkan tendensius untuk bernada provokatif.
Apokaliptik bergandeng dengan konsep ‘negara selatan-selatan’ juga memikul
beban yang tidak sembarangan, tetapi selarung dengan pengenaan konteks khas
dalam pengalaman membaca Siksa Kubur sebagai
film horor religi yang memilih terperangkap dalam masyarakat yang bising
membicarakan matematika kesejahteraan dan relasi kuasa—juga kelas ekonomi dan
kehidupan beragama di bawah buana yang sembunyi-sembunyi membahasakan dystopian world. Apokaliptik dapat
menjadi medium politik yang ganas untuk mempercakapkan konteks geopolitik dan
masyarakatnya, demikian ditulis Roslyn Weaver.
“Bersiaplah untuk bertemu dengan karya-karya film yang berani menantang agama hingga menimbulkan fenomena mengejutkan di seluruh Asia!”
Demikian bunyi promosi untuk film Siksa Kubur yang memiliki judul asing
berbahasa Thailand—bila diterjemahkan secara langsung ke Indonesia—berarti Neraka Pecah, Jenazah Bergetar. Sepintas
ada semacam sinyal yang mengonfirmasi interpretasi penulis terhadap dunia
distopia yang coba dibangun Siksa Kubur yang
terikat kuat dengan konteks. Seandainya
latar konfliknya bukan di Indonesia, tidak akan tercipta apokaliptik yang
sedemikian ‘selatan’ dari sudut pandang Sita. Alat promosi film Siksa Kubur di Thailand itu juga
menggarisbawahi kejutan bagi Asia yang mengacu pada sebagian besar
negara-negara di taraf berkembang. Apakah memang hanya cocok di kawasan Asia? Tidak
terbayangkan bagaimana negara maju dengan populasi penduduk Muslim masif
seperti Uni Emirates Arab, Kuwait, atau negara maju di kitaran Teluk Arab bisa
segaduh itu hanya soal Siksa Kubur. Apakah
ini juga cara Joko Anwar mengolok dan menyatirkan realitas sosial Indonesia
yang selalu panas-dingin saat membincangkan agama sekaligus sangat doyan pada
trivialitas, superfisialitas, dan sensasi?
Siksa
Kubur adalah anomali matematika tentang kalkulasi cara bertahan hidup dari
kemiskinan. Sanjaya (Fachri Albar) dan Muti (Happy Salma) yang notabene kedua
orang tua Sita tewas terkena bom bunuh diri karena menyelamatkan uang di meja
kasir yang dirampok orang asing. Percakapan mereka sebelum tewas juga soal
kasih sayang dan waralaba donat
Amerika dan perlebaran sayap cabang bisnis. Adil dan Sita dibawa ke pesantren
pelosok karena diboyong pamannya dengan alasan sekolah di sana cuma-cuma. Sita
remaja mengibas-ngibaskan selembar uang 50 ribu untuk membujuk ajudan Ilham Sutisna
yang akan menyekap dan melecehkan Adil remaja. Sita remaja juga kian meneguhkan
kepongahannya menelusuri terowongan juga berbekal uang 50 ribu. Pak Wahyu
dirayu untuk keluar dari panti jompo oleh Inayah (Djenar Maesa Ayu) dan Amar
suaminya (Haydar Saliszh) karena biayanya mahal dan hartanya sudah terkuras
habis...bis…bis…bis. Sita mengamuk ke kru televisi dengan menuding ada anak
Wahyu Sutama yang menyogok untuk menukarkan memori handycamp. Dan deretan contoh lain. Klimaks dari segala rangkaian apokaliptik yang merajam Sita ada
pada penjelasannya sendiri di tengah rekaman program wicara televisi. “Wahyu
Sutama membeli agama dan doa orang-orang untuk mengantarkan dia ke surga atau
sekadar hanya dia pakai sebagai topeng.”
Gambar 3. Sita remaja mengacungkan
selembar uang 50 ribu sebagai rayuan ke ajudan Ilham Sutisna
©
Come and See Pictures & Rapi Films
Agama bagi kebanyakan orang hanya jadi
rekreasi superfisial untuk mencari penghiburan di tengah nasib mujur yang tidak
berpihak. Mungkin di antara itu, Siksa
Kubur adalah bayang-bayang kengerian yang mencokol dalam ketakutan ganda
berwujud apocalyptic incognito. Apokaliptik
personal bagi tantangan bertahan antara tuntutan memiliki uang, kepercayaan,
dan mental pendukung untuk keduanya. Dalam penggambaran menarik lain,
penggambaran Sita dan Adil berikut profesinya jelas menggambarkan taraf
kesejahteraan hidup mereka yang bukan menengah atas. Adil di sebuah rumah susun
dengan unit cilik dan Sita bertumpang di tempat kerjanya di panti jompo.
Konsep ‘kiri’ memang problematik untuk
disandang, tetapi melihat betapa degungan dan resonansi kegelisahan
berlipat-lipat dalam Siksa Kubur sebenarnya
adalah soal kemiskinan, kemelaratan, diskrepansi, dan kepercayaan diri yang tergerogoti
‘siksa’ dunia (baca: ekonomi). Relasi kuasa tentang ketertindasan juga
dibicarakan, dan pada irisan yang mikro juga ada percakapan soal gender dengan
catatan yang subordinatif pula walaupun tidak mencolok. Bila digenerikkan, Siksa Kubur adalah teks yang
mengantarkan kelana sebuah pergulatan spiritual yang elusif karena terhimpit
siksaan ganda: siksa yang realis di kehidupan dunia dan siksa yang ‘sureal’ di
alam transisi sebagaimana disebut Ustazah Ningsih Chodijah. Tanpa bermaksud
menafikan keberadaan siksa kubur, tetapi permainan naratif Siksa Kubur bagaikan seluncuran yang mengajak kita pada sensasi
terperosok, tercampak, lalu tersadar. Sekali lagi, konteks tempat menjadi strategis
disinggung untuk mencapai derajat rasionalitas dari kemelut Siksa Kubur yang bisa menyulut
apokaliptik dalam apokaliptik-nya Sita.
Kekuatan film Joko selalu mengakar
pada konteks di mana cerita itu dihidupkan. Yang paling menggelitik dan menohok
adalah sewaktu ‘the real
pseudo-apocalyptic’ digambarkan. Bila dihayati, kiamat-kiamat itu
rasanya—sebagaimana diwakili penggambaran keterwakilannya oleh juru bicara
kalangan masyarakat yang seperti apa—menjadi kluster konflik khas masyarakat
negara Selatan. Penulis tidak membayangkan polemik Siksa Kubur akan menyentuh ambang akseptansi bila dikontekskan di
luar negara selatan-selatan. Yang entah kebetulan atau tidak, ‘delegasi’ unsur
masyarakat yang riuh menyoal keberadaan adanya siksaan di alam barzakh itu juga
diposisikan Joko Anwar adalah warga-warga akar rumput yang diwawancara media di
kawasan permukiman yang harus ‘blusuk-blusuk’.
Terlihat di sana warga panik akibat menjamurnya rekaman siksa kubur, lalu
pengrusakan, pembumihangusan terjadi di mana-mana. Joko Anwar pasti memiliki
pilihan seandainya ia mengganti apokaliptik yang sangat distopia itu dengan
adegan-adegan kondusif, rakyat yang sibuk memenuhi rumah ibadah, dan
tercapainya pertaubatan massal. Alih-alih
merestorasi dari ‘kebenaran’ siksa kubur, toh malah sibuk menjadikannya
komoditas dan umpan penglaris. Yang dibahas soal merebaknya rekaman siksa
kubur. Bukan untuk mencapai ‘taubat kolosal’, tetapi ‘kehebohan kolosal’.
Kekacauan itu tak didetilkan
bagaimana, tapi bagaimana kota sebesar itu membara dan diambil dengan arah
kamera dari bawah, menampakkan kebesaran ‘kehancuran’ itu. Sebagaimana kata Peter
Marks dalam bukunya Imagining
Surveillance: Eutopian and dystopian literature and film, film apokaliptik
mampu memperkirakan apa yang terjadi dan mengandai-andai. Dari jarak yang aman,
Siksa Kubur menggambarkan kiamat
dalam dwiinterpretasi, kiamat sugra dan kubra dalam mempercakapkan realitas
keberagamaan di negara selatan-selatan yang lebih enteng menimbulkan kebisingan,
utamanya deteriorasi ruang publik. “Mau
main-main sama agama kamu? Mau jadi penista agama?!” sorak seorang penonton di
studio kepada Sita. Joko Anwar lagi-lagi sedang ‘menempeleng’ situasi sosial Indonesia
yang teramat alergi pada percakapan keagamaan yang terlampau gampang ditabukan.
Isu agama menjadi satu yang mampu memecah
belah dibanding mengintegrasikan. Deteriorasi ruang publik dalam meracik agama
menjadi poin utama. Joko Anwar juga sadar betul, perubahan lanskap media yang
dramatis sangat berpengaruh dalam ‘dunia-dunia’ fiksinya. Siksa Kubur versi pendek ada yang merekam, lalu mampu mencuci otak
seorang pengecut yang kepalang takut azab kubur lalu cari jalan motong dengan
menjadi ‘pengantin’ yang meledakkan diri di waralaba donat Amerika. Percakapan
minyak babi sampai franchise donat
juga menyentil. Sebentuk inaugurasi dari mental yang resistan pada mental tidak
siap bersaing, keterbatasan kemampuan berliterasi sehingga rentan tercokol
hoaks. Dalam gerakan bawah tanahnya, sekali lagi dengan mode incognito, Joko Anwar sedang ‘berdakwah’
untuk mencerahkan masyarakat kita yang sedang berproses menuju jenjang yang
lebih sejahtera dalam multisektoral. Sepanjang film Siksa Kubur juga terdapat
kondisi yang memantik perhatian dan mengundang pertanyaan. Di antara lima pertanyaan yang diajukan malaikat kubur, kenapa hanya
pertanyaan nomor wahid yang diulang-ulang? Ada apa di balik seleksi pertanyan
itu oleh sang sineas? Man Rabbuka atau siapa tuhanmu? Kalau menilik dari
proporsi film ini, polemik menuntun pada jawaban: barangkali uang atau semacam
kekayaan?
MENUTUP ANOMALI DENGAN HARAPAN
Semiolog Umberto Eco pernah menulis “every text, after all, is a lazy machine
asking the reader to do some of its work. What a problem it would be if a text
were to say everything the receiver is to understand - it would never end”. Setelah
Siksa Kubur dicopot dari timangan
sang empu orang tua rohani yang mengasuhnya sedemikian personal, waktunya
audiens menjalankan naluri autokrasinya dalam menggapil semesta Sita-Adil ke
dalam posisi personal mereka. Perdebatan hingga suburnya pertengkaran
teori-teori dari fiksi ini menandakan sebuah perayaan pengaryaan yang membawa
kegembiraan, di mana pemandangan ini terbilang langka untuk film horor religi
tanah air, bahkan menandai film horor religi terlaris sepanjang sejarah dengan
empat juta lebih penonton. Banyak opini pro-kontra yang bertaburan di jagat
maya. Di penghujung tulisan ini dapatlah dikatakan bahwa Siksa Kubur sukses sebagai karya bila ditinjau dengan indikator
ramainya diskursivitas yang dipantiknya.
Sebagai jawara film laris musim
lebaran Indonesia 2024 sekaligus mencetak rekor film horor religi terlaris
Indonesia sepanjang sejarah, Siksa Kubur tetaplah
tidak sempurna tanpa bermaksud mencederai porsinya yang signifikan sebagai milestone film horor religi yang patut
dicatat dalam dinamika perfilman Indonesia. Penulis mengendus keputusan ultima
dari Siksa Kubur yang berlabuh ke
peraduan yang normatif sebagai pemakluman dan meredusir lampauan imajinasi yang
terlalu spekulan dan liar.
Penerjemahan penceritaan apokaliptik yang tumpang-tindih dan berlangsung
laten ini bisa diidentikkan pada ilustrasi bias cahaya pensil dalam segelas
air. Sebatang pensil akan tampak lurus dalam candraan penglihatan,
tetapi akan tampak patah sebagai dua bagian terpenggal ketika dicelup ke dalam
segelas air. Anomali optik itu memamerkan sebuah ilusi yang mempermainkan,
tetapi pada dasarnya pensil tersebut tetaplah sebagai satu batang yang utuh,
lurus, serta tidak patah sama sekali. Perumpamaan anomali itu yang mewakili
pengalaman membaca dan meresapi apa yang Siksa
Kubur (2024) persembahkan dengan permainan distorsinya yang pekat. Film ini
tidak mengkhianati keniscayaan siksa kubur, melainkan memilih metode berliku
untuk sampai pada keberimanan, bahkan pada imajinasi ‘tepi jurang’ yang riskan.
Sekalipun untuk mencapai kepercayaan—atau keberimanan—atas eksistensi siksa
kubur tersebut harus ditebus dengan kelimpungan, keterkecohan, keterpanaan, dan
independensi menentukan sikap dalam telusur spiritual melalui ujung cerita yang
terbuka.
Joko Anwar bukan Rolland Emmerich yang
ditabalkan sebagai disaster-porn
fetishist yang bisa saja menginginkan imajinasi kiamat super dalam
fiksi-fiksinya—dan tampaknya tidak tertarik ke arah sana. Ia paham benar
bagaimana memilih apokaliptik yang cocok bagi profil masyarakat di mana filmnya
dibuat dan diperuntukkan. Sama halnya seperti di Gundala (2019) yang dengan genre pahlawan super itu, Joko Anwar
membumikan problematik utamanya yang selaras konteks masyarakat berkembang,
seperti praktik KKN dan ihwal ketersediaan logistik beras sebagai pangan utama.
Dalam Siksa Kubur, penulis merasakan
gelagat dan bahan dialog antar tokoh yang tersinkronisasi oleh satu benda yang
dikultuskan: duit. Keberagamaan, uang, dan mental warga selatan yang gemar
mengudap trivialitas, sehingga apokaliptik terpantik dari keremeh-temehan
mengejar sesuatu yang sensasional dibanding substansial. Jangan-jangan, di antara lima pertanyaan di alam kubur, kenapa film ini
fokus kepada ‘Man Rabbuka’ semata-mata?
Apa diam-diam, para penduduk negeri selatan-selatan di dunia film Siksa
Kubur ternyata lebih fasih mengganti
jawaban kebertuhanan menjadi keber-rupiah-an? Mari kita putarkan lagu trailer Siksa
Kubur dari Opick. “Bagaimana kau merasa
bangga, akan dunia yang sementara…” ***
Komentar
Posting Komentar